Sabtu, 27 Desember 2014

Jurnal Etika Bisnis : TUGAS 4

KORUPSI DAN PENGARUHNYA TERHADAP SEKTOR KEGIATAN BISNIS DI INDONESIA
Risa Sarah Septiarani
Fakultas Ekonomi Universitas Gunadarma
Abstrak
Jurnal ini mencoba untuk memberikan gambaran mengenai pentingnya peran pemerintah dan warga negara partisipasi sebagai salah satu instrumen untuk memberantas korupsi birokrasi , dilihat dari berbagai teori  ini kertas memberikan pemahaman yang sama dan memadai tentang peran akuntabilitas publik dan partisipasi masyarakat dalam proses pemberantasan korupsi dan berbagai upaya yang dapat dilakukan. Hasil literatur review ini menunjukkan bahwa upaya yang dilakukan untuk memberantas korupsi di Indonesia masih parsial dan cenderung tidak memiliki strategi desain yang jelas sehingga dalam banyak kasus tidak dapat mengurangi signifikan korupsi yang terjadi . Selain itu , peran penting dari peran pemerintah dan partisipasi masyarakat dalam pemberantasan korupsi belum mendapat banyak perhatian serta belum diteliti secara mendalam . Oleh karena itu diperlukan penelitian lebih lanjut dari berbagai aspek akuntabilitas publik dan partisipasi masyarakat dalam pemberantasan korupsi di Indonesia .

Kata kunci : korupsi , peran pemerintah, sektor bisnis



PENDAHULUAN.
Korupsi bukanlah merupakan sesuatu yang baru dalam sejarah peradaban manusia. Fenomena ini telah dikenal dan menjadi bahan diskusi bahkan sejak 2000 tahun yang lalu ketika seorang Perdana Menteri Kerajaan India bernama Kautilya menulis buku berjudul Arthashastra. Demikian pula dengan Dante yang pada tujuh abad silam juga menulis tentang korupsi (penyuapan) sebagai tindak kejahatan. Bahkan seorang Shakespeare juga menyinggung korupsi sebagai bentuk kejahatan. Sebuah ungkapan terkenal pada tahun 1887 mengenai korupsi dari sejarawan Inggris, Lord Acton, yaitu ”power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely”, hal ini menegaskan bahwa korupsi berpotensi muncul di
mana saja tanpa memandang ras, geografi maupun kapasitas ekonomi. Kriminolog Noach (2009) mengatakan bahwa korupsi merupakan salah satu bentuk kejahatan. Kejahatan merupakan suatu tindakan yang
tidak mungkin bisa dihilangkan sepanjang manusia masih ada dibumi. Korupsi sebagai bentuk kejahatan harus dibatasi, diupayakan berkurang bahkan diberantas secara tuntas walaupun memerlukan usaha yang tidak mudah. Pemikiran tersebut sejalan dengan kriminolog Frank Tanembaun yang mengatakan : crime is eternal – as eternal as society (kejahatan adalah abadi, seabadi masyarakat). Robert T. Kyosaki dalam bukunya : Rich Dad, Poor Dad, mengatakan bahwa ada dua asumsi dasar dalam menyikapi kejahatan. Pandangan pertama mengasumsikan ”cinta uang adalah akarkejahatan” sedangkan pandangan kedua berasumsi ”kurang uang adalah akar kejahatan”. Apabila kita menelaah 2 pandangan ini dapat disimpulkan bahwa orang korupsi karena cinta uang dan orang melakukan korupsi karena kurang uang. Dinegara kita masih ada puluhan juta masyarakat tergolong miskin (kurang uang) tetapi tidak otomatis menjadi penjahat korupsi. Kenyataan yang ada adalah pelaku kejahatan korupsi sebagian besar adalah orang kaya yang berkecukupan bahkan berlebihan uang. Klitgaard membuat suatu teori atau persamaan sederhana untuk menjelaskan tentang tindakan korupsi atau penyebab seseorang melakukan korupsi :



Dimana
C = Corruption (korupsi).
M = Monopoly (monopoli).
D = Discretion. (keleluasaan).
A = Accountability (pertanggungjawaban).

Persamaan diatas menjelaskan bahwa korupsi hanya bisa terjadi apabila seseorang atau pihak tertentu mempunyai hak monopoli atas urusan tertentu serta ditunjang oleh diskresi (keleluasaan) dalam menggunakan kekuasaannya sehingga cenderung menyalahgunakannya namun lemah dalam hal pertanggungjawaban (akuntabilitas) kepada public Menurut United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yang merupakan konvensi negara-negara PBB Anti Korupsi, kejahatan korupsi dapat berupa pemberian suap (bribery), penggelapan dana-dana publik (emblezzment of public funds), penyalahgunaan wewenang dan pengaruh (trading in influence), penyembunyian (concealment) dan pencucian (laundering) hasilhasil
korupsi (proceeds of corruption), pencucian uang (money laundering) dan memperkaya diri sendiri secara tidak sah (illicit enrichment).

Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang penelitian diatas, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
Apakah definisi , penyebab, jenis-jenis serta bagaimana dampaknya bagi sebuah kegiatan bisnis dan cara yang dilakukan pemerintah untuk memberantas korupsi?

LANDASAN TEORI
Tindak Pidana Korupsi
Secara etimologis, korupsi berasal dari bahasa latin yakni corruptio atau corruptus yang berarti merusak, tidak jujur, dapat disuap. Dalam Alqur’an korupsi disebut sebagai ghulul yang berarti penghianatan terhadap kepercayaan (amanah). korupsi juga mengandung arti kejahatan, kebusukan, tidak bermoral, dan kebejatan. Korupsi juga dideskripsikan sebagai al-suht yang berarti ’menjadi perantara dengan menerima imbalan antara seseorang dangan penguasa untuk suatu kepentingan’. Menurut Khalifah Umar Ibn al-Khattab ’Al-suht adalah bahwa seseorang yang memiliki pengaruh dilingkungan sumber kekuasaan menjadi perantara dengan menerima imbalan bagi orang lain yang mempunyai kepentingan sehingga penguasa tadi meluluskan kepentingan orang itu’ (Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadyah, 2006). Namun demikian korupsi yang terjadi di Indonesia bukanlah semata-mata hasil perilaku swasta, yang merupakan konsekuensi logis atas perilaku pemilik modal dalam memburu rente ekonomi (Herry Prijono, 2002). Korupsi telah muncul sejak lama hampir bersamaan dengan kehadiran manusia dimuka bumi. Sejak tahun 3000 sebelum Masehi hingga 1000 setelah Masehi sampai dengan saat ini korupsi telah berkembang mengikuti zamannya. Dari tahun 3000 sebelum Masehi hingga 1000 setelah Masehi, penguasa pada umumnya merangkap hakim. Di sini sudah muncul ketegangan antara, di satu pihak, norma yang menganggap hadiah kepada penguasa suatu hal yang wajar, dan di lain pihak, kerinduan akan putusan hakim yang tidak berpihak. Di Mesir Kuno dan Mesopotamia kerinduan semacam ini sudah mulai dirasakan. Pada umumnya ketegangan seperti itu berakhir dalam putusan-putusan hakim yang tidak selalu adil. Power tends to corrupt, absolute power sewenang-wenang aparat negara dan birokrasi. Korupsi juga didorong oleh malpraktik bisnis corrupts absolutely, demikian dikatakan oleh Lord Acton (1887) dalam Gati (2000). Penyalahgunaan kekuasaan bukan hanya terjadi disektor komersial atau kekuasaan birokrasi intansi pemerintah saja namun juga dalam organisasi yang berfokus pada kegiatan sosial. Hal ini telah mendorong banyak pihak untuk melakukan pemisahan fungsi dalam organisasi. Korupsi dapat dilihat dari pengertian yang sempit dan luas. Pavarala (1996) membagi dua kelompok pengertian korupsi yakni pengertian legal yang sempit dan pengertian yang juga memperhatikan moral dan etika. Dalam arti sempit, korupsi meliputi penyuapan (bribery), penggunaan barang publik tidak sesuai dengan peruntukannya (misappropriation of public resources), komisi (kickbacks commissions), penyelewengan (embezzlement), dan pemberian melebihi nilai yang diperkenankan (gifts beyond a certain value). Dalam arti luas, korupsi mencakup hal-hal di atas ditambah nepotisme/pavoritisme, ketidakjujuran/kejahatan (cheating, fraud dan dishonesty), serta kejahatan intelektual (intellectual crime). Dengan demikian korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan dan jabatan pada organisasi publik untuk keuntungan pribadi, penyalahgunaan jabatan yang dapat menghasilkan uang untukkepentingan partai, suku, kelas, teman, keluarga yang sangat dirahasiakan terhadap pihak lain di luar kalangan sendiri itu (Vito Tanzi, 1998; Alatas, 1987; Pope, 2000; dan Petter Langseth ,1999). Korupsi sama halnya dengan penyakit yang menyerang berbagai sektor seperti ekonomi, politik, kultur, etika, moral bahkan agama. Hal ini banyak dikenal sebagai korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) atau sistem kroni. Kolusi merupakan persekongkolan, permufakatan, persetujan, atau kesepakatan yang tidak baik untuk melakukan halhal yang menimbulkan kerugian pada pihak tertentu. Nepotisme adalah tindakan atau keberpihakan yang dilakukan dengan landasan hubungan kekerabatan. Sedangkan sistem kroni merupakan kesepakatan bersama dalam pelaksanaan tugas-tugas untuk keuntungan pribadi dan kelompok. Penelitian yang dilakukan oleh Partnership For Governance Reform di tahun 2002 dengan judul ‘Mencuri Uang Rakyat: 16 Kajian Korupsi di Indonesia’ diarahkan pada semua aspek-aspek meliputi para bankir, tentara nasional indonesia, hakim, pegawai negeri, pelaksanaan haji, bisnis keluarga pejabat, bantuan asing, bantuan swasta, BUMN/D dan lain lain. Salah satu hasil penelitiannya adalah mengenai korupsi di Badan Usaha Milik Negara. Kajian mereka terhadap BUMN yang mengelola migas membuktikan bahwa dengan undang-undang No. 8 tahun 1971 Pertamina telah dijadikan lahan bagi keuntungan pribadi banyak pihak. Fraud yang dilakukan oleh manajemen untuk keuntungan kelompoknya dan perusahaan telah banyak merugikan pihak prinsipal. Penyelewengan dilakukan secara sistematis maupun secara nyata seperti pembobolan bank. Fraud yang demikian akhir-akhir ini menjadi semakin marak dengan dimotori oleh para elit perusahaan. Banyak kasus besar seperti Enron dan Bank Bali telah menyita perhatian publik. Fraudulent activity pada awalnyadilakukan oleh siapa saja dalam setiap level pemimpin organisasi melalui manipulasi informasi keuangan (financial fraud) (Moeler ,2004). Menurut James C. Treadway, Jr.(1987): fraudulent financial reporting as intentional or reckless conduct, whether act or omission, that results in materially misleading financial statements. Fraudulent financial reporting merupakan tindakan kesengajaan untuk menyajikan kesalahan atau menghilangkan suatu jumlah tertentu dalam laporan keuangan sehingga akan menurunkan kredibilitas laporan keuangan dimata para pengguna laporan keuangan tersebut. organisasi. Namun pada akhir-akhir ini yang menjadi pembuat kekacauan terbesar adalah paraFraudulent financial reporting terjadi dengan (a) manipulasi, pemalsuan catatan akuntansi atau dokumen pendukung laporan keuangan, sengaja menghilangkan kejadian, transaksi, dan informasi penting dari laporan keuangan, dan sengaja menerapkan prinsip akuntansi yang salah, dan (b) misappropriation of assets meliputi; penggelapan penerimaan kas, pencurian aktiva, dan hal-hal yang menyebabkan organisasi membayar barang atau jasa yang tidak diterimanya. Penyalahgunaan akuntansi untuk memperlancar penyelewengan banyak ditunjukkan dalam beberapa kasus besar seperti halnya dengan Enron. Prakltik akuntansi yang demikian disebut dengan creative accounting. Dengan creative accounting, organisasi dapat menggunakan keahliannya dalam praktik akuntansi teramsuk teknik dan Metoda, legal maupun illegal sehingga dapat melakukan manipulasi informasi akuntansi (Mulford and Comiskey ,2002). Menurut Amat, Blake dan Dowd [1999] creative accounting merupakan sebuah proses dimana beberapa pihak menggunakan kemampuan pemahaman pengetahuan akuntansi (termasuk di dalamnya standar, teknik dsb.) dan menggunakannya untuk memanipulasi pelaporan keuangan. Sebagai accounting manipulation, creative accounting dapat dilakukan melaui ‘earning management’, ‘income smoothing’ dan ‘creative accounting’ itu sendiri (Stolowy dan Breton, 2004). Naser [1993] dalam Amat et.al. [1999] medefinisikan ‘creative accounting’ sebagai: The process of manipulating accounting figures by taking advantage of loopholes in accounting rules and the choice of measurement and disclosure practices in them to transform financial statements from what they should be, to what prepares would prefer to see reported, …..and the process by which transactions are structured so as to produce the required accounting results rather than reporting transaction in neutral and consistent way.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dengan Metoda library (documentary) research atau documentary analysis. Metoda ini dipilih karena peneliti mempunyai kelebihan tersendiri, yaitu dalam hal analisis yang sangat dalam. Selain itu, dengan Metoda ini, peneliti tidak terlalu terpengaruh dengan data-data subjektif dari sumber penelitian. Untuk itu, peneliti melakukan pengumpulan dan analisis mendalam terhadap dokumen yang tersedia dan dapat diakses oleh masyarakat umum. Untuk melakukannya, peneliti menggali berbagai informasi yang relevan dengan segala informasi terkait dengan topik utama, yaitu berbagai hal tentang korupsi, baik secara teoritis maupun fakta empiris.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Korupsi: Konteks, Definisi, Jenis, dan Penyebab
Korupsi dalam sejarah peradaban manusia merupaka salah satu masalah yang senantiasa menyertai perjalanan kehidupan manusia. Perilaku yang dapat digolongkan ke dalam tindakan korupsi seperti penyuapan dapat ditemukan dalam peradaban kuno masyarakatYahudi, Cina, Jepang, Yunani, dan Romawi (Thakur, 1979; Khan, 2000). Bahkan korupsi dengan skala besar yang mempengaruhi kehidupan masyarakat telah terjadi pada masa peradaban India kuno (Thakur, 1979, Padhy, 1986; Khan, 2000). Pada peradaban Indonesia sendiri, korupsi juga telah berlangsung lama. Hal ini misalnya dapat dilihat dalam tulisan Smith (1971). Menurut Smith, korupsi di Indonesia dapat ditemukan sejak mulai masuknya Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) ke Indonesia pada abad ke-18 dan bahkan jauh sebelum itu apabila dilihat dari perilaku tradisional yang dipraktikkan dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara di era sejumlah kerajaan nusantara. Karenanya dapat dikatakan bahwa korupsi merupakan endemik yang dapat ditemukan pada semua negara di dunia dengan berbagai tingkatan aplikasinya.

Menurut Gillespie dan Okruhlik (1991), terdapat lima isu utama dalam literatur mengenai korupsi, yakni definisi, penyebab, dampak, konteks, dan tipe aktivitas yang termasuk korupsi. Menyangkut definisi itu sendiri, dalam pandangan Gillespie dan Okruhlik (1991), (1) sebuah definisi konseptual membutuhkan dua kualitas yaitu sebuah definisi, (2) harus cukup umum dan memungkinkan komparasi lintas budaya serta harus cukup berguna secara empirik. Dua kriteria tersebut telah terbukti menimbulkan kontroversi dalam upaya sejumlah pakar untuk mencoba mendefinisikan konsep dari korupsi.

Berbagai definisi yang berbeda dari korupsi tersebut, pada intinya menurut Desta (2006) dapat dibagi ke dalam 3 (tiga) kategori yaitu definisi yang ber-pusat pada jabatan publik (public of centred definitions); definisi yang berpusat pada pasar (market centred definitions); serta definisi yang berpusat pada kepentingan publik (public interest centred definitions). Definisi yang berpusat pada jabatan publik misal-nya definisi yang disampaikan oleh Nye (1967; Desta, 2006), yaitu perilaku yang menyimpang dari tanggungjawab seharusnya sebagai petugas publik karena kepentingan pribadi (keluarga, kawan dekat), karena mengharapkan keuntungan uang atau status; atau pelanggaran aturan dengan memanfaatkan pengaruh pribadi. Definisi yang berpusat pada pasar dapat dilihat dari definisi yang dikemukakan oleh van Klaveren (1957; Heidenheimer dkk., 1989; Desta, 2006), yaitu seorang pegawai negeri yang korup menganggap kantornya sebagai sebuah usaha dan menghasilkan pendapatan yang sebanyak-banyaknya bagi dirinya. Kantor kemudian menjadi unit untuk dimaksimalkan. Sementara itu, definisi yang berpusat pada kepentingan publik dapat dilihat dari kutipan pernyataan Friederick(1966; Heidenheimer dkk., 1989; Desta, 2006), yaitu pola korupsi dapat terjadi ketika seorang pemegang kekuasaan yang memiliki tanggungjawab untuk melakukan sesuatu, kemudian akibat diberi uang atau hadiah yang sebenarnya tidak diperkenankan, mendukung atau mengambil tindakan yang sesuai dengan keinginan orang yang memberinya hadiah dan karena perbuatannya tersebut merusak kepentingan publik. Berdasarkan tiga definisi tersebut, definisi yang penulis gunakan adalah definisi yang berpusat pada jabatan publik (Nye, 1967). Definisi tersebut dalam pandangan penulis lebih sesuai dengan definisi sebagaimana diatur dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan UU Nomor 20 Tahun 2001, terdapat tiga puluh bentuk/jenis dari tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam tiga belas buah pasal pada UU tersebut.
Ketigapuluh bentuk/jenis tindak pidana korupsi tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi tujuh kelompok, yaitu kerugian keuangan negara; suap-menyuap; penggelapan dalam jabatan; pemerasan; perbuatan curang; benturan kepentingan dalam pengadaan; serta gratifikasi (KPK, 2006).
Selain definisi, para pakar juga mencoba untuk membuat kategori dari korupsi. Terkait hal tersebut, korupsi dapat dibagi ke dalam jumlah kategori berdasarkan besarannya maupun berdasarkan kategori pelakunya. Pembagian korupsi berdasarkan besarannya dapat dilihat misalnya dari pendapat Jayawickrama (1998; Feng, 2004). Menurut Jayawickrama, korupsi dapat dibedakan menjadi dua yakni korupsi kecil (petty corruption) dan korupsi besar (grand corruption). Sementara itu, dilihat dari kategori pelakunya, Warren (2004) membaginya menjadi enam kategori, yakni korupsi yang dilakukan oleh negara yang terdiri dari tiga kategori (korupsi eksekutif, korupsi peradilan, dan korupsi legislatif); korupsi yang dilakukan oleh ranah pubik (media, dan lembaga pembentuk opini publik lainnya); korupsi yang dilakukan oleh masyarakat sipil; serta korupsi yang dilakukan oleh pasar. Setelah mengetahui apa yang dimaksud dengan korupsi dan jenisnya, aspek selanjutnya yang perlu diketahui adalah terkait penyebab dari terjadinya tindak pidana korupsi.
Merujuk berbagai literature yang tersedia dapat diketahui sejumlah kondisi yang disinyalir menjadi penyebab utama terjadinya korupsi. Berdasarkan informasi dari berbagai literatur tersebut dapat diketahui bahwa pada intinya, korupsi dikarenakan sejumlah faktor baik yang memiliki kontribusi secara langsung maupun secara tidak langsung. Selain itu, faktor penyebab korupsi juga dapat dibedakan antara faktor yang terkait dengan karakteristik individual maupun pengaruh struktural. Pemahaman mengenai penyebab korupsi yang dikarenakan oleh faktor penyebab langsung dan tidak langsung dapat dilihat dalam tulisan Tanzi (1998). Menurut Tanzi, terdapat setidaknya enam faktor penyebab langsung dari korupsi, yakni (1) pengaturan dan otorisasi; (2) perpajakan; (3) kebijakan pengeluaran/anggaran; (4) penyediaan barang dan jasa dibawah harga pasar; (5) kebijakan diskresi lainnya; serta (6) pembiayaan partai politik. Sementara itu, penyebab tidak langsung dari korupsi terdiri dari setidaknya enam faktor, yak-ni (1) kualitas birokrasi; (2) besaran gaji di sektor publik, (3) sistem hukuman; (4) pengawasan institusi; (5) transparansi aturan, hukum dan proses; serta (6) teladandari pemimpin. Adapun penjelasan mengenai faktor penyebabkorupsi yang terkait dengan karakteristik individual maupun pengaruh struktural dapat diihat dalam tulisan Nas, Price, dan Weber (1986). Menurut Nas dkk., korupsi dilihat dari karakteristik individual terjadi ketika seorang individu itu serakah atau tidak bisa menahan godaan, lemah dan tidak memiliki etika sebagai seorang pejabat publik, sementara penyebab korupsi dari sisi struktural dikarenakan oleh tiga hal, yakni (1) birokrasi atau organisasi yang gagal; (2) kualitas keterlibatan masyarakat; dan (3) keserasian sistem hukum dengan permintaan masyarakat. Pendapat lain mengenai penyebab korupsi dapat dilihat dari tulisan Bull dan Newell (2003) dalam kaitannya dengan korupsi politik. Mereka membagi penyebab korupsi ke dalam empat faktor yang dianggap dapat mewakili faktor-faktor penyebab langsung  maupun faktor yang memfasilitasi tumbuhnya korupsi yakni faktor sejarah, struktur dan budaya. Keempat faktor penyebab korupsi menurut Bull dan Newell adalah (1) budaya politik; (2) struktur dan institusi politik; (3) sistem kepartaian, partai pemerintah, partai politik, dan politisi; serta (4) ekonomi politik antara sektor publik dan sektor privat. Sementara itu, dalam pandangan Shah (2007), terjadinya korupsi di sektor publik akan sangat tergantung kepada sejumlah faktor yakni (1) kualitas manajemen sektor publik; (2) sifat alamiah (kondisi) hubungan akuntabilitas antara pemerintah dan masyarakat; (3) kerangka hukum; serta (4) tingkatan proses sector publik dilengkapi dengan transparansi dan diseminasi informasi. Upaya mengatasi korupsi tanpa mempertimbangkan keempat faktor ini menurut Shah akan menyebabkan hasil yang kurang mendalam dan tidak berkelanjutan. Pada kasus Indonesia sendiri, terdapat sejumlah analisis yang mencoba untuk menjelaskan mengapa korupsi begitu berkembang di Indonesia. Salah satu analisis tersebut adalah sebagaimana diungkapkan Snape (1999). Menurut Snape, setidaknya ada tiga faktor yang disinyalir menjadi sebab berkembangnya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di Indonesia, yakni faktor politik, faktor ekonomi, dan faktor budaya Jawa. Berdasarkan pandangan Snape, faktor politik yangdicirikan dengan adanya kesenjangan akuntabilitas, transparansi, institusi demokrasi, dan pers yang bebas merupakan faktor penting yang memberikan kontribusi terhadap meluasnya korupsi dalam masyarakat Indonesia, khususnya di era Orde Lama dan era Orde Baru. Sementara itu, terkait faktor ekonomi, intervensi pemerintah yang ekstensif dalam perekonomian dinilai Snape sebagai penyebab dari korupsi di Indonesia. Melalui intervensi ini memunculkan sejumlah keuntungan secara nansial bagi sejumlah kecil masyarakat Indonesia, khususnya mereka yang memiliki kekuasaan dan mereka yang memiliki patron politik dengan penguasa. Faktor ketiga yang dinilai Snape memberikan kontribusi bagi praktek KKN di Indonesia adalah faktor yang terkait dengan penjelasan budaya. Praktek-praktek KKN yang terjadi di masa Orde Baru memiliki akar pada tradisi budaya masa lalu Indonesia, khususnya budaya yang berlaku di Jawa (Snape, 1999; Schwartz, 1994). Terkait hal ini, sejumlah praktek KKN menurut Snape mengakar pada kebiasaan Jawa kuno sehingga untuk kemudian dianggap sebagai sesuatu halyang wajar. Kebiasan-kebiasan ini meliputi kebiasaan dalam memberikan hadiah kepada penguasa; loyalitas kepada keluarga yang lebih kuat dibandingkan kepada negara; serta konsep kekuasaan Jawa yang hierarkis, tetap dan patrimoni.

Pemerintah Indonesia sebenarnya tidak tinggal diam dalam mengatasi praktek-praktek korupsi. Upaya pemerintah dilaksanakan melalui berbagai kebijakan berupa peraturan perundang-undangan dari yang tertinggi yaitu Undang-Undang Dasar 1945 sampai dengan Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu, pemerintah juga membentuk komisi-komisi yang berhubungan langsung dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi seperti Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Upaya pencegahan praktek korupsi juga dilakukan di lingkungan eksekutif atau penyelenggara negara, dimana masing-masing instansi memiliki Internal Control Unit (unit pengawas dan pengendali dalam instansi) yang berupa inspektorat. Fungsi inspektorat mengawasi dan memeriksa penyelenggaraan kegiatan pembangunan di instansi masing-masing, terutama pengelolaan keuangan negara, agar kegiatan pembangunan berjalan secara efektif, efisien dan ekonomis sesuai sasaran. Di samping pengawasan internal, ada juga pengawasan dan pemeriksaan kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh instansi eksternal yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawas Keuangan Pembangunan (BPKP). Selain lembaga internal dan eksternal, lembaga swadaya masyarakat (LSM) juga ikut berperan dalam melakukan pengawasan kegiatan pembangunan, terutama kasus-kasus korupsi yang dilakukan oleh penyelenggara negara. Beberapa LSM yang aktif dan gencar mengawasi dan melaporkan praktek korupsi yang dilakukan penyelenggara negara antara lain adalah Indonesian Corruption Watch (ICW), Government Watch (GOWA), dan Masyarakat Tranparansi Indonesia (MTI). Korupsi yang terjadi dalam birokrasi tentunya mendapat perhatian dan penekanan tersendiri dalam kajian ini. Karena pada kasus korupsi, birokrasi atau pemerintah memiliki peranan ganda yaitu sebagai pelaku dan pemberantas korupsi itu sendiri. Sementara dunia usaha dan masyarakat berperan sebagai pelaku dan korban. Kasus-kasus korupsi yang menjadi sorotan banyak pihak baik dalam maupun luar negeri adalah korupsi yang terjadi di tubuh birokrasi. Selain berakibat luas dan destruktif terhadap pembangunan ekonomi serta masyarakat secara umum, korupsi dalam birokrasi pada umumnya berskala luas dengan jumlah (nominal) yang besardan melibatkan pejabat negara, elit politik maupun pegawai negeri. Sedangkan, kasus-kasus korupsi pada sektor bisnis, pada umumnya berskala kecil dan hanya berdampak pada perusahaannya sendiri. Di Indonesia, untuk kategori manipulasi uang negara, sektor yang paling korup ialah pengadaan barang dan jasa mencakup konstruksi, pekerjaan umum, perlengkapan militer, dan barang jasa pemerintah. Untuk kasus suap dan pemerasan, korupsi terbesar terjadi di kepolisian, sektor peradilan, pajak dan bea cukai, serta sektor perijinan. Korupsi juga terjadi di kalangan politisi
(anggota DPR dan partai politik), serta pada praktek kolusi dalam bisnis. Untuk kasus kolusi bisnis, korupsi terbesar terjadi di tubuh militer, kepolisian, dan pegawai pemerintah lewat koperasi dan yayasan. Dari segi aktornya, pelaku korupsi terbagi menjadi aparat pemerintah, pelaku sektor bisnis, dan warga masyarakat. Secara tradisional, pelaku korupsi biasanya hanya menyangkut pemerintah atau aparat birokrasi dengan warga. Namun demikian, kecenderungan saat ini menunjukkan adanya peningkatan kontribusi atas tingkatan korupsi dari pelaku di sektor bisnis. Biasanya kasus korupsi selalu melibatkan dua pihak, yaitu aparat (yang menerima suap) dan warga (yang memberi suap). Namun demikian dalam kacamata hukum, penggelapan juga merupakan tindakan pidana korupsi, walaupun jenis korupsi ini tidak melibatkan warga masyarakat secara langsung, karena penggelepan hanya dilakukan oleh satu pihak saja, yaitu aparat. Penggelapan adalah salah satu bentuk korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan yang menjadi modus korupsi di negara paling korup, melibatkan pemegang kekuasaan hak monopoli. Kasus penggelapan paling banyak ditemukan adalah dalam bentuk memproteksi kepentingan bisnis mereka dengan menggunakan kekuatan politik. Di beberapa negara lain modus yang terjadi seperti upaya menasionalisasi perusahaan asing, hak properti dan hak monopoli, serta mendistribusikannya ke kelompok/golongan yang dekat dengan kekuasaan. Namun demikian, pada kenyataannya keberadaan instrumen hukum ini tidak lantas mempermudah penegakan hukum. Persoalan mandeknya pemberantasan korupsi di Indonesia ternyata bersifat lebih kompleks, yaitu tidak hanya menyangkut konten kebijakan dan penataan peraturan perundangan yang mengatur mengenai pemberantasan korupsi itu sendiri, namun juga faktor-faktor lain yang berpengaruh langsung pada rantai perumusan kebijakan itu sendiri. Itikad politik yang kuat perlu menjadi landasan agar kebijakan pemberantasan korupsi mendapat legitimasi yang cukup dan efektif, namun sayangnya political will masih lemah. Hal ini diindikasikan ketika penegakan hukum atas tindak pidana korupsi yang melibakan kelompok elit dan nama besar akan sangat sulit dilakukan. Pemberantasan korupsi merupakan salah satu agenda penting dari pemerintah dalam rangka penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN. Bahkan pemberantasan korupsi juga merupakan agenda di tingkat regional dan internasional. Ini dibuktkan dengan banyaknya lembaga-lembaga internasional yang turut menegaskan komitmennya untuk bersama-samamemerangi korupsi. Salah satu penghambat kesejahteraan negara berkembang pun disinyalir akibat dari praktek korupsi yang eksesif, baik yang melibatkan aparat di sektor publik, maupun yang melibatkan masyarakat yang lebih luas. Indikasi tetap maraknya praktek korupsi di negara ini dapat terlihat dari tidak kunjung membaiknya angka persepsi korupsi. Beberapa survei yang dilakukan oleh lembaga independen internasional lainnya juga membuktikan fakta yang sama, walaupun dengan bahasa, instrumen atau pendekatan yang berbeda. Situasi ini jelas memprihatinkan banyak pihak. Upaya pemberantasan korupsi melibatkan semua pihak, semua sektor dan seluruh komponen perumus kebijakan baik itu pemerintah dan penyelenggara negara lainnya, tidak terkecuali anggota masyarakat secara umum. Hal ini karena praktek korupsi bukan merupakan monopoli perilaku dari pegawai atau pejabat pemerintah saja, tetapi merupakan justru perilaku kolektif yang melibatkan hampir semua unsur dalam masyarakat. Sederhananya, supply tidak akan terjadi kalau tidak ada demand. Praktek korupsi hanya mungkin terjadi apabila sistem formal memberi celah/peluang ke arah sana, selain didukung oleh perilaku stakehorlder dan shareholder yang komplementer. Pendekatan carrot and stick adalah salah satu pendekatan yang memandang
penanganan korupsi secara hitam putih. Walaupun sangat kaku dalam implementasi, namun seringkali efektif untuk menciptakan iklim kondusif dalam penegakkan disiplin aparatur. Dengan pendekatan kesejahteraan sebagaimana yang diterapkan di Singapura, maka aparatur tidak diberi peluang untuk mencari pembenaran atas tindak pidana korupsi yang dilakukannya. Pendapatan bersih (net take home pay) yang layak diharapkan mampu memberikan garansi perilaku yang positif para aparatur dan menghindari segala bentuk penyimpangan. Pendekatan stick diharapkan akanmenimbulkan efek jera yang hebat pada para pelaku korupsi. Singapura dan China telah menunjukkan praktek ini dengan tingkat keberhasilan yang diakui. Kebijakan terkait lain yang menjadi alternatif di luar kebijakan sector adalah menyangkut reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi ini tidak bisa hanya sebatas jargon seperti yang selama ini banyak terjadi. Reformasi lebih banyak menjadi wacana di forum-forum terbatas (elitis dan eksklusif) yang tidak berdampak langsung kepada perubahan konkrit. Reformasi birokrasi harus menjadi pengungkit (leverage) dalam strategi pemberantasan korupsi, karena merupakan fondasi penting dalam penyelenggaran negara yang bersih dan bebas KKN. Persoalan dalam pengejawantahan reformasi ini adalah dalam penerjemahannya ke dalam kebijakan. Banyaknya sektor yang menjadi objek reformasi menyebabkan pendekatan yang dilakukan tidak terintegrasi secara baik. Parsialitas menjadi karakter dalam penyelenggaraan reformasi birokrasi ini. Perlu adanya upaya menyangkut optimasi kementerian dan LPND, melalui kebiajakn kelmebagaan, sumber daya aparatur, dan kapasitas kelembagaan yang tidak tumpang tindih. Terkait dengan reformasi birokrasi dan prinsip carrot and stick di atas, maka struktur penggajian memerlukan pembenahan serius. Struktur yang bersandar pada merit system boleh jadi mampu memberikan jaminan kesejahteraan yang adil dan proporsional. Ketiga alternatif kebijakan di atas memerlukan effort dan dana yang luar biasa besar. Salah satu alternatif lain yang ditawarkan oleh Kwik Kian Gie adalah dengan cara bertahap. Kesejahteraan yang layak tetap diberikan pada level elit di instansi pemerintah, sehingga asumsinya tidak akan terjadi korupsi di level atas. Sementara aparat pada level bawah, ”dibiarkan” untuk melakukan korupsi pada level kecil, yang secara nominal tidak terlalu signifikan. Namun secara bertahap, setelah kemampuan keuangan memungkinkan, maka kesejahteraan aparat di tingkat bawah juga harus ditingkatkan. Untuk mengawal pendekatan ini, maka reward and punishment harus tetap ditegakkan.




KESIMPULAN
Kasus korupsi yang menjadi sorotan adalah korupsi yang terjadi di tubuh birokrasi. Korupsi di tubuh birokrasi mempunyai dampak yang luas dan destruktif terhadap pembangunan ekonomi serta masyarakat secara umum. Korupsi dalam birokrasi pada umumnya berskala luas dengan jumlah (nominal) yang besar dan melibatkan pejabat negara, elit politik maupun pegawai negeri. Sedangkan, kasus-kasus korupsi pada sektor bisnis, pada umumnya berskala kecil dan hanya berdampak pada perusahaannya sendiri. Untuk kategori manipulasi uang negara, sektor yang paling korup ialah pengadaan barang dan jasa mencakup konstruksi, pekerjaan umum, perlengkapan militer, dan barang jasa pemerintah. Untuk kasus suap dan pemerasan, korupsi terbesar terjadi di kepolisian, sektor peradilan, pajak dan bea cukai, serta sektor perijinan. Korupsi juga terjadi di kalangan politisi (anggota DPR dan partai politik), serta pada praktek kolusi dalam bisnis. Untuk kasus kolusi bisnis, korupsi terbesar terjadi di tubuh militer, kepolisian, dan pegawai pemerintah lewat koperasi dan yayasan. Dari segi aktornya, pelaku korupsi terbagi menjadi aparat pemerintah, pelaku sektor bisnis, dan warga masyarakat. Secara tradisional, pelaku korupsi biasanya hanya menyangkut pemerintah atau aparat birokrasi dengan warga. Namun demikian, kecenderungan saat ini menunjukkan adanya peningkatan kontribusi atas tingkatan korupsi dari pelaku di sektor bisnis. Strategi pemberantasan didahului oleh adanya itikad kolektif, yaitu semacam willingness dari semua pihak untuk bersama-sama tidak memberikan toleransi sedikitpun terhadap perilaku korupsi. Selama ini praktek korupsi dianggap sesuatu yang wajar terjadi. Padahal perilaku korupsi harus dicitrakan dan diperlakukan sebagai perilaku kriminal, sama halnya dengan tindak kriminal lainnya yang memerlukan penanganan secara hukum. Dalam mewujudkan sebuah strategi yang efektif, dibutuhkan pemenuhandan muncul dari kesadaran sendiri; (2) Menyeluruh dan seimbang; (3) Sesuai dengan kebutuhan, ada target, dan berkesinambungan; (4) Berdasarkan pada sumber daya dan kapasitas yang tersedia; (5) Terukur; dan (6) Transparan dan bebas dari konflik kepentingan. Berkenaan dengan political will serta komitmen yang harus dibangun, maka perlu menegaskan kembali political will pemerintah, diantaranya melalui: (1) Penyempurnaan UU Anti Korupsi yang lebih komprehensif; (2) Kontrak politik yang dibuat pejabat publik; (3) Pembuatan aturan dan kode etik PNS; (4) Pembuatan pakta integritas; dan (5) Penyederhanaan birokrasi. Penyempurnaan UU Anti Korupsi ini selain untuk menjawab dinamika dan perkembangan kualitas kasus korupsi, juga untuk menyesuaikan dengan instrumen hukum internasional. Saat ini isu korupsi tidak lagi dibatasi sekatsekat negara, namun telah berkembang menjadi isu regional bahkan internasional. Hal ini tidak lepas dari praktek korupsi yang melibatkan perputaran dan pemindahan uang lintas negara.

SARAN
Strategi pemberantasan korupsi harus bersifat menyeluruh dan seimbang. Selain itu, upaya pencegahan (ex ante) harus lebih digalakkan, antara lain melalui: (1) Menumbuhkan kesadaran masyarakat (public awareness) mengenai dampak destruktif dari korupsi, khususnya bagi PNS; (2) Pendidikan anti korupsi; (3) Sosialisasi tindak pidana korupsi melalui media cetak & elektronik; (4) Perbaikan remunerasi PNS. Adapun upaya penindakan (ex post facto) harus memberikan efek jera, baik secara hukum, maupu sosial. Efek jera seperti: (1) Hukuman yang berat ditambah dengan denda yang jumlahnya signifikan; (2) Pengembalian hasil korupsi kepada negara; dan (3) Tidak menutup kemungkinan, penyidikan dilakukan kepada keluarga atau kerabat pelaku korupsi. Strategi pemberantasan korupsi harus sesuai kebutuhan, target, dan berkesinambungan.

DAFTAR PUSTAKA
Badjuri, Achmad,2011. Peranan Komisi Pemeberantasan Korupsi (KPK) Sebagai Lembaga Anti Korupsi di Indonesia (The Role of Indonesia Corruption Exterminate Comission in Indonesia) : Jurnal Bisnis dan Ekonomi (JBE), Maret 2011, Hal. 84 – 96 Vol. 18, No. 1 ISSN: 1412-3126.

Kurniawan, Teguh, 2009, Peranan Akuntabilitas Publik dan Partisipasi Masyarakat dalam Pemberantasan Korupsi di Pemerintahan : Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Mei–Agustus 2009, hlm. 116-121 Volume 16, Nomor 2 ISSN 0854-3844.

Desta, Yemane. 2006. Designing Anti-Corruption Strategies for Developing Countries: A Country Study of Eritrea. Journal of Developing societies, Vol. 22 No. 4.

Feng, Kenny. 2004. The Human Rights Implications of Corruption: An Alien Tort Claims-Act Based Analysis, Wharton Research Scholars Journal, WH-299-301 (April).

Gillespie, Kate and Gwenn Okruhlik. 1991. The Political Dimensions of Corruption Cleanups: A Framework for Analysis. Comparative Politics, Vol. 24, No. 1.

Klitgaard, Robert. 1998a. International Cooperation Against Corruption. Finance & Development, Vol. 35, No. 1

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 2006. Memahami untuk Membasmi: Buku Saku untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: KPK.

_____. 2007. Laporan Tahunan 2007: Pemberdayaan Penegakan Hukum. Jakarta: KPK.

Shah, Anwar, (Editor). 2007. Performance Accountability and Combating Corruption. Washington DC: The World Bank.

Moeler, Robert and Herbert N. Witt, 1999. Internal Auditing, 5th ed. New York, John Willey & Son, Inc.

MenPAN, dalam Surat Nomor 37a/M.PAN/ 2/2002 tanggal 8 Februari 2002.

Umar, Haryono, 2012, Pengawasan Untuk Pemberantasan : Jurnal Akuntansi & Auditing Volume 8/No. 2/Mei 2012: 95-189

Suwarno, Yogi, dkk, Strategi Pemberantasan Korupsi : STIA LAN Jakarta, Peneliti pada Pusat Kajian Administrasi Internasional LAN RI.