KORUPSI DAN PENGARUHNYA TERHADAP
SEKTOR KEGIATAN BISNIS DI INDONESIA
Risa Sarah Septiarani
Fakultas Ekonomi Universitas
Gunadarma
Abstrak
Jurnal
ini mencoba untuk memberikan gambaran mengenai pentingnya peran pemerintah dan
warga negara partisipasi sebagai salah satu instrumen untuk memberantas korupsi
birokrasi , dilihat dari berbagai teori ini kertas memberikan pemahaman yang sama dan
memadai tentang peran akuntabilitas publik dan partisipasi masyarakat dalam
proses pemberantasan korupsi dan berbagai upaya yang dapat dilakukan. Hasil literatur
review ini menunjukkan bahwa upaya yang dilakukan untuk memberantas korupsi di
Indonesia masih parsial dan cenderung tidak memiliki strategi desain yang jelas
sehingga dalam banyak kasus tidak dapat mengurangi signifikan korupsi yang
terjadi . Selain itu , peran penting dari peran pemerintah dan partisipasi
masyarakat dalam pemberantasan korupsi belum mendapat banyak perhatian serta
belum diteliti secara mendalam . Oleh karena itu diperlukan penelitian lebih
lanjut dari berbagai aspek akuntabilitas publik dan partisipasi masyarakat
dalam pemberantasan korupsi di Indonesia .
Kata
kunci : korupsi , peran pemerintah, sektor bisnis
PENDAHULUAN.
Korupsi
bukanlah merupakan sesuatu yang baru dalam sejarah peradaban manusia. Fenomena ini
telah dikenal dan menjadi bahan diskusi bahkan sejak 2000 tahun yang lalu
ketika seorang Perdana Menteri Kerajaan India bernama Kautilya menulis buku
berjudul Arthashastra. Demikian pula dengan Dante yang pada tujuh abad silam juga
menulis tentang korupsi (penyuapan) sebagai tindak kejahatan. Bahkan seorang
Shakespeare juga menyinggung korupsi sebagai bentuk kejahatan. Sebuah ungkapan
terkenal pada tahun 1887 mengenai korupsi dari sejarawan Inggris, Lord Acton,
yaitu ”power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely”,
hal ini menegaskan bahwa korupsi berpotensi muncul di
mana
saja tanpa memandang ras, geografi maupun kapasitas ekonomi. Kriminolog Noach
(2009) mengatakan bahwa korupsi merupakan salah satu bentuk kejahatan. Kejahatan
merupakan suatu tindakan yang
tidak
mungkin bisa dihilangkan sepanjang manusia masih ada dibumi. Korupsi sebagai
bentuk kejahatan harus dibatasi, diupayakan berkurang bahkan diberantas secara
tuntas walaupun memerlukan usaha yang tidak mudah. Pemikiran tersebut sejalan
dengan kriminolog Frank Tanembaun yang mengatakan : crime is eternal – as
eternal as society (kejahatan adalah abadi, seabadi masyarakat). Robert T.
Kyosaki dalam bukunya : Rich Dad, Poor Dad, mengatakan bahwa ada
dua asumsi dasar dalam menyikapi kejahatan. Pandangan pertama mengasumsikan ”cinta
uang adalah akarkejahatan” sedangkan pandangan kedua berasumsi ”kurang
uang adalah akar kejahatan”. Apabila kita menelaah 2 pandangan ini dapat disimpulkan
bahwa orang korupsi karena cinta uang dan orang melakukan korupsi karena kurang
uang. Dinegara kita masih ada puluhan juta masyarakat tergolong miskin (kurang
uang) tetapi tidak otomatis menjadi penjahat korupsi. Kenyataan yang ada adalah
pelaku kejahatan korupsi sebagian besar adalah orang kaya yang berkecukupan
bahkan berlebihan uang. Klitgaard membuat suatu teori atau persamaan sederhana
untuk menjelaskan tentang tindakan korupsi atau penyebab seseorang melakukan korupsi
:
Dimana
C
= Corruption (korupsi).
M
= Monopoly (monopoli).
D
= Discretion. (keleluasaan).
A
= Accountability (pertanggungjawaban).
Persamaan
diatas menjelaskan bahwa korupsi hanya bisa terjadi apabila seseorang atau pihak
tertentu mempunyai hak monopoli atas urusan tertentu serta ditunjang oleh
diskresi (keleluasaan) dalam menggunakan kekuasaannya sehingga cenderung
menyalahgunakannya namun lemah dalam hal pertanggungjawaban (akuntabilitas) kepada
public Menurut United Nations Convention Against Corruption (UNCAC)
yang merupakan konvensi negara-negara PBB Anti Korupsi, kejahatan korupsi dapat
berupa pemberian suap (bribery), penggelapan dana-dana publik (emblezzment
of public funds), penyalahgunaan wewenang dan pengaruh (trading
in influence), penyembunyian (concealment) dan pencucian (laundering)
hasilhasil
korupsi
(proceeds of corruption), pencucian uang (money laundering) dan
memperkaya diri sendiri secara tidak sah (illicit enrichment).
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
uraian dalam latar belakang penelitian diatas, maka permasalahan dalam
penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
Apakah
definisi , penyebab, jenis-jenis serta bagaimana dampaknya bagi sebuah kegiatan
bisnis dan cara yang dilakukan pemerintah untuk memberantas korupsi?
LANDASAN TEORI
Tindak Pidana Korupsi
Secara etimologis, korupsi berasal
dari bahasa latin yakni corruptio
atau corruptus yang berarti merusak, tidak jujur,
dapat disuap. Dalam Alqur’an korupsi disebut sebagai ghulul yang berarti penghianatan terhadap
kepercayaan (amanah). korupsi juga mengandung arti kejahatan, kebusukan, tidak
bermoral, dan kebejatan. Korupsi juga dideskripsikan sebagai al-suht yang berarti ’menjadi perantara
dengan menerima imbalan antara seseorang dangan penguasa untuk suatu
kepentingan’. Menurut Khalifah Umar Ibn al-Khattab ’Al-suht adalah bahwa seseorang yang memiliki
pengaruh dilingkungan sumber kekuasaan menjadi perantara dengan menerima
imbalan bagi orang lain yang mempunyai kepentingan sehingga penguasa tadi
meluluskan kepentingan orang itu’ (Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadyah, 2006).
Namun demikian korupsi yang terjadi di Indonesia bukanlah semata-mata hasil
perilaku swasta, yang merupakan konsekuensi logis atas perilaku pemilik modal
dalam memburu rente ekonomi (Herry Prijono, 2002). Korupsi
telah muncul sejak lama hampir bersamaan dengan kehadiran manusia dimuka bumi.
Sejak tahun 3000 sebelum Masehi hingga 1000 setelah Masehi sampai dengan saat
ini korupsi telah berkembang mengikuti zamannya. Dari tahun 3000 sebelum Masehi
hingga 1000 setelah Masehi, penguasa pada umumnya merangkap hakim. Di sini
sudah muncul ketegangan antara, di satu pihak, norma yang menganggap hadiah
kepada penguasa suatu hal yang wajar, dan di lain pihak, kerinduan akan putusan
hakim yang tidak berpihak. Di Mesir Kuno dan Mesopotamia kerinduan semacam ini
sudah mulai dirasakan. Pada umumnya ketegangan seperti itu berakhir dalam
putusan-putusan hakim yang tidak selalu adil. Power tends to corrupt, absolute power sewenang-wenang aparat negara dan
birokrasi. Korupsi juga didorong oleh malpraktik bisnis corrupts absolutely, demikian dikatakan oleh Lord Acton
(1887) dalam Gati (2000). Penyalahgunaan kekuasaan bukan hanya terjadi disektor
komersial atau kekuasaan birokrasi intansi pemerintah saja namun juga dalam
organisasi yang berfokus pada kegiatan sosial. Hal ini telah mendorong banyak pihak
untuk melakukan pemisahan fungsi dalam organisasi. Korupsi dapat dilihat dari
pengertian yang sempit dan luas. Pavarala (1996) membagi dua kelompok pengertian
korupsi yakni pengertian legal yang sempit dan pengertian yang juga
memperhatikan moral dan etika. Dalam arti sempit, korupsi meliputi penyuapan (bribery), penggunaan barang publik tidak
sesuai dengan peruntukannya (misappropriation of public resources), komisi (kickbacks commissions), penyelewengan (embezzlement), dan pemberian melebihi nilai yang
diperkenankan (gifts
beyond a certain value).
Dalam arti luas, korupsi mencakup hal-hal di atas ditambah nepotisme/pavoritisme,
ketidakjujuran/kejahatan (cheating,
fraud dan dishonesty),
serta kejahatan intelektual (intellectual crime). Dengan demikian korupsi adalah
penyalahgunaan kekuasaan dan jabatan pada organisasi publik untuk keuntungan
pribadi, penyalahgunaan jabatan yang dapat menghasilkan uang untukkepentingan
partai, suku, kelas, teman, keluarga yang sangat dirahasiakan terhadap pihak
lain di luar kalangan sendiri itu (Vito Tanzi, 1998; Alatas, 1987; Pope, 2000;
dan Petter Langseth ,1999). Korupsi sama halnya dengan penyakit yang menyerang
berbagai sektor seperti ekonomi, politik, kultur, etika, moral bahkan agama.
Hal ini banyak dikenal sebagai korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) atau sistem
kroni. Kolusi merupakan persekongkolan, permufakatan, persetujan, atau
kesepakatan yang tidak baik untuk melakukan halhal yang menimbulkan kerugian
pada pihak tertentu. Nepotisme adalah tindakan atau keberpihakan yang dilakukan
dengan landasan hubungan kekerabatan. Sedangkan sistem kroni merupakan kesepakatan
bersama dalam pelaksanaan tugas-tugas untuk keuntungan pribadi dan kelompok. Penelitian
yang dilakukan oleh Partnership For Governance Reform di tahun 2002 dengan judul ‘Mencuri
Uang Rakyat: 16 Kajian Korupsi di Indonesia’ diarahkan pada semua aspek-aspek meliputi
para bankir, tentara nasional indonesia, hakim, pegawai negeri, pelaksanaan
haji, bisnis keluarga pejabat, bantuan asing, bantuan swasta, BUMN/D dan lain lain.
Salah satu hasil penelitiannya adalah mengenai korupsi di Badan Usaha Milik
Negara. Kajian mereka terhadap BUMN yang mengelola migas membuktikan bahwa
dengan undang-undang No. 8 tahun 1971 Pertamina telah dijadikan lahan bagi
keuntungan pribadi banyak pihak. Fraud yang dilakukan oleh manajemen untuk keuntungan kelompoknya
dan perusahaan telah banyak merugikan pihak prinsipal. Penyelewengan dilakukan
secara sistematis maupun secara nyata seperti pembobolan bank. Fraud yang
demikian akhir-akhir ini menjadi semakin marak dengan dimotori oleh para elit
perusahaan. Banyak kasus besar seperti Enron dan Bank Bali telah menyita perhatian
publik. Fraudulent
activity pada
awalnyadilakukan oleh siapa saja dalam setiap level pemimpin organisasi melalui
manipulasi informasi keuangan (financial fraud) (Moeler ,2004). Menurut James C. Treadway, Jr.(1987): fraudulent financial
reporting as intentional or
reckless conduct, whether act
or omission, that
results in materially
misleading financial statements. Fraudulent
financial reporting merupakan
tindakan kesengajaan untuk menyajikan kesalahan atau menghilangkan suatu jumlah
tertentu dalam laporan keuangan sehingga akan menurunkan kredibilitas laporan
keuangan dimata para pengguna laporan keuangan tersebut. organisasi. Namun pada
akhir-akhir ini yang menjadi pembuat kekacauan terbesar adalah paraFraudulent financial
reporting terjadi
dengan (a) manipulasi, pemalsuan catatan akuntansi atau dokumen pendukung
laporan keuangan, sengaja menghilangkan kejadian, transaksi, dan informasi penting
dari laporan keuangan, dan sengaja menerapkan prinsip akuntansi yang salah, dan
(b) misappropriation of assets meliputi; penggelapan penerimaan
kas, pencurian aktiva, dan hal-hal yang menyebabkan organisasi membayar barang atau
jasa yang tidak diterimanya. Penyalahgunaan akuntansi untuk memperlancar penyelewengan
banyak ditunjukkan dalam beberapa kasus besar seperti halnya dengan Enron. Prakltik
akuntansi yang demikian disebut dengan creative accounting. Dengan creative
accounting, organisasi
dapat menggunakan keahliannya dalam praktik akuntansi teramsuk teknik dan Metoda,
legal maupun illegal sehingga dapat melakukan manipulasi informasi akuntansi
(Mulford and Comiskey ,2002). Menurut Amat, Blake dan Dowd [1999] creative accounting merupakan sebuah proses dimana
beberapa pihak menggunakan kemampuan pemahaman pengetahuan akuntansi (termasuk
di dalamnya standar, teknik dsb.) dan menggunakannya untuk memanipulasi
pelaporan keuangan. Sebagai accounting
manipulation, creative accounting dapat dilakukan melaui ‘earning management’, ‘income smoothing’ dan ‘creative
accounting’ itu sendiri
(Stolowy dan Breton, 2004). Naser [1993] dalam Amat et.al. [1999] medefinisikan
‘creative accounting’ sebagai: The
process of manipulating accounting figures
by taking advantage of loopholes in accounting
rules and the choice of
measurement and disclosure
practices in
them to transform financial
statements from
what they should be, to what
prepares would
prefer to see reported, …..and
the process by
which transactions are
structured so as to
produce the required
accounting results
rather than reporting
transaction in neutral
and consistent way.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dengan
Metoda library
(documentary) research atau documentary analysis.
Metoda ini dipilih karena peneliti
mempunyai kelebihan tersendiri, yaitu dalam hal analisis yang sangat dalam.
Selain itu, dengan Metoda ini, peneliti tidak terlalu terpengaruh dengan
data-data subjektif dari sumber penelitian. Untuk itu, peneliti melakukan
pengumpulan dan analisis mendalam terhadap dokumen yang tersedia dan dapat
diakses oleh masyarakat umum. Untuk melakukannya, peneliti menggali berbagai
informasi yang relevan dengan segala informasi terkait dengan topik utama,
yaitu berbagai hal tentang korupsi, baik secara teoritis maupun fakta empiris.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Korupsi: Konteks, Definisi,
Jenis, dan Penyebab
Korupsi dalam sejarah peradaban
manusia merupaka salah satu masalah yang senantiasa menyertai perjalanan
kehidupan manusia. Perilaku yang dapat digolongkan ke dalam tindakan korupsi
seperti penyuapan dapat ditemukan dalam peradaban kuno masyarakatYahudi, Cina,
Jepang, Yunani, dan Romawi (Thakur, 1979; Khan, 2000). Bahkan korupsi dengan skala
besar yang mempengaruhi kehidupan masyarakat telah terjadi pada masa peradaban
India kuno (Thakur, 1979, Padhy, 1986; Khan, 2000). Pada peradaban Indonesia
sendiri, korupsi juga telah berlangsung lama. Hal ini misalnya dapat dilihat dalam
tulisan Smith (1971). Menurut Smith, korupsi di Indonesia dapat ditemukan sejak
mulai masuknya Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) ke Indonesia pada
abad ke-18 dan bahkan jauh sebelum itu apabila dilihat dari perilaku
tradisional yang dipraktikkan dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara di era
sejumlah kerajaan nusantara. Karenanya dapat dikatakan bahwa korupsi merupakan
endemik yang dapat ditemukan pada semua negara di dunia dengan berbagai tingkatan
aplikasinya.
Menurut
Gillespie dan Okruhlik (1991), terdapat lima isu utama dalam literatur mengenai
korupsi, yakni definisi, penyebab, dampak, konteks, dan tipe aktivitas yang termasuk korupsi. Menyangkut definisi itu sendiri,
dalam pandangan Gillespie dan Okruhlik (1991),
(1) sebuah definisi konseptual membutuhkan dua
kualitas yaitu sebuah definisi, (2) harus cukup umum dan memungkinkan komparasi lintas
budaya serta harus
cukup berguna secara empirik. Dua kriteria tersebut telah terbukti menimbulkan
kontroversi dalam
upaya sejumlah pakar untuk mencoba
mendefinisikan konsep
dari korupsi.
Berbagai definisi yang berbeda dari
korupsi tersebut, pada intinya menurut Desta (2006) dapat
dibagi ke
dalam 3 (tiga) kategori yaitu definisi yang ber-pusat pada jabatan publik (public of centred definitions); definisi yang berpusat pada pasar
(market centred definitions); serta definisi yang berpusat pada kepentingan
publik (public
interest centred definitions). Definisi yang berpusat pada jabatan publik misal-nya definisi yang disampaikan oleh Nye (1967; Desta, 2006), yaitu perilaku
yang menyimpang dari tanggungjawab seharusnya sebagai petugas publik karena
kepentingan pribadi
(keluarga, kawan dekat), karena mengharapkan keuntungan uang atau status; atau
pelanggaran aturan
dengan
memanfaatkan pengaruh pribadi.
Definisi yang berpusat pada pasar
dapat dilihat dari definisi yang dikemukakan oleh
van Klaveren (1957;
Heidenheimer dkk., 1989; Desta, 2006), yaitu seorang pegawai negeri yang korup
menganggap kantornya
sebagai sebuah usaha dan menghasilkan pendapatan yang sebanyak-banyaknya bagi
dirinya. Kantor kemudian
menjadi unit untuk dimaksimalkan. Sementara itu, definisi yang berpusat pada kepentingan publik dapat dilihat dari kutipan pernyataan
Friederick(1966; Heidenheimer dkk., 1989; Desta, 2006), yaitu pola korupsi dapat terjadi ketika seorang pemegang kekuasaan yang memiliki tanggungjawab untuk melakukan sesuatu, kemudian akibat diberi uang atau hadiah yang sebenarnya tidak diperkenankan, mendukung atau mengambil tindakan yang sesuai dengan keinginan orang yang memberinya hadiah dan karena perbuatannya tersebut merusak kepentingan publik. Berdasarkan tiga definisi tersebut, definisi yang penulis gunakan adalah definisi yang berpusat pada jabatan publik (Nye, 1967). Definisi tersebut dalam pandangan penulis lebih sesuai dengan definisi sebagaimana diatur dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan UU Nomor 20 Tahun 2001, terdapat tiga puluh bentuk/jenis dari tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam tiga belas buah pasal pada UU tersebut.
Ketigapuluh bentuk/jenis tindak
pidana korupsi tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi tujuh kelompok, yaitu kerugian keuangan negara;
suap-menyuap; penggelapan dalam jabatan; pemerasan; perbuatan curang; benturan
kepentingan dalam
pengadaan; serta gratifikasi (KPK, 2006).
Selain definisi, para pakar juga
mencoba untuk membuat kategori dari korupsi. Terkait hal tersebut, korupsi dapat dibagi ke
dalam jumlah kategori berdasarkan besarannya maupun berdasarkan kategori
pelakunya. Pembagian
korupsi berdasarkan besarannya
dapat
dilihat misalnya dari pendapat Jayawickrama (1998; Feng, 2004). Menurut
Jayawickrama, korupsi
dapat
dibedakan menjadi dua yakni korupsi kecil (petty corruption)
dan korupsi besar (grand corruption). Sementara itu, dilihat dari kategori
pelakunya, Warren
(2004) membaginya menjadi enam kategori, yakni korupsi yang dilakukan oleh negara
yang terdiri dari
tiga kategori (korupsi eksekutif, korupsi peradilan, dan korupsi
legislatif); korupsi yang dilakukan oleh ranah pubik (media, dan lembaga
pembentuk opini
publik
lainnya); korupsi yang dilakukan oleh masyarakat sipil; serta korupsi yang dilakukan oleh
pasar. Setelah mengetahui apa
yang dimaksud dengan
korupsi
dan jenisnya, aspek selanjutnya yang perlu diketahui adalah terkait penyebab dari
terjadinya tindak
pidana korupsi.
Merujuk
berbagai literature
yang
tersedia dapat diketahui sejumlah kondisi yang disinyalir menjadi penyebab utama
terjadinya korupsi.
Berdasarkan
informasi dari berbagai literatur tersebut dapat diketahui bahwa pada intinya,
korupsi dikarenakan sejumlah
faktor baik yang memiliki
kontribusi
secara langsung maupun secara tidak langsung. Selain itu, faktor penyebab korupsi juga
dapat dibedakan antara faktor
yang terkait dengan karakteristik individual maupun pengaruh struktural. Pemahaman
mengenai penyebab korupsi yang dikarenakan oleh faktor penyebab langsung dan
tidak langsung dapat dilihat dalam tulisan Tanzi (1998). Menurut Tanzi,
terdapat setidaknya enam faktor penyebab langsung dari korupsi, yakni (1) pengaturan dan
otorisasi; (2) perpajakan; (3) kebijakan pengeluaran/anggaran; (4) penyediaan
barang dan jasa dibawah harga pasar; (5) kebijakan diskresi lainnya; serta (6)
pembiayaan partai politik. Sementara itu, penyebab tidak langsung dari korupsi
terdiri dari setidaknya enam faktor, yak-ni (1) kualitas birokrasi; (2) besaran
gaji di sektor publik, (3) sistem hukuman; (4) pengawasan institusi; (5) transparansi
aturan, hukum dan proses; serta (6) teladandari pemimpin. Adapun penjelasan
mengenai faktor penyebabkorupsi yang terkait dengan karakteristik individual maupun
pengaruh struktural dapat diihat dalam tulisan Nas, Price, dan Weber (1986).
Menurut Nas dkk., korupsi dilihat dari karakteristik individual terjadi ketika
seorang individu itu serakah atau tidak bisa menahan godaan, lemah dan tidak
memiliki etika sebagai seorang pejabat publik, sementara penyebab korupsi dari
sisi struktural dikarenakan oleh tiga hal, yakni (1) birokrasi atau organisasi
yang gagal; (2) kualitas keterlibatan masyarakat; dan (3) keserasian sistem
hukum dengan permintaan masyarakat. Pendapat lain mengenai penyebab korupsi
dapat dilihat dari tulisan Bull dan Newell (2003) dalam kaitannya dengan
korupsi politik. Mereka membagi penyebab korupsi ke dalam empat faktor yang
dianggap dapat mewakili faktor-faktor penyebab langsung maupun faktor yang memfasilitasi tumbuhnya
korupsi yakni faktor sejarah, struktur dan budaya. Keempat faktor penyebab
korupsi menurut Bull dan Newell adalah (1) budaya politik; (2) struktur dan
institusi politik; (3) sistem kepartaian, partai pemerintah, partai politik,
dan politisi; serta (4) ekonomi politik antara sektor publik dan sektor privat.
Sementara itu, dalam pandangan Shah (2007), terjadinya korupsi di sektor publik
akan sangat tergantung kepada sejumlah faktor yakni (1) kualitas manajemen sektor
publik; (2) sifat alamiah (kondisi) hubungan akuntabilitas antara pemerintah
dan masyarakat; (3) kerangka hukum; serta (4) tingkatan proses sector publik
dilengkapi dengan transparansi dan diseminasi informasi. Upaya mengatasi
korupsi tanpa mempertimbangkan keempat faktor ini menurut Shah akan menyebabkan
hasil yang kurang mendalam dan tidak berkelanjutan. Pada kasus Indonesia
sendiri, terdapat sejumlah analisis yang mencoba untuk menjelaskan mengapa
korupsi begitu berkembang di Indonesia. Salah satu analisis tersebut adalah sebagaimana
diungkapkan Snape (1999). Menurut Snape, setidaknya ada tiga faktor yang
disinyalir menjadi sebab berkembangnya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di
Indonesia, yakni faktor politik, faktor ekonomi, dan faktor budaya Jawa.
Berdasarkan pandangan Snape, faktor politik yangdicirikan dengan adanya
kesenjangan akuntabilitas, transparansi, institusi demokrasi, dan pers yang
bebas merupakan faktor penting yang memberikan kontribusi terhadap meluasnya
korupsi dalam masyarakat Indonesia, khususnya di era Orde Lama dan era Orde Baru.
Sementara itu, terkait faktor ekonomi, intervensi pemerintah yang ekstensif
dalam perekonomian dinilai Snape sebagai penyebab dari korupsi di Indonesia. Melalui
intervensi ini memunculkan sejumlah keuntungan secara nansial bagi sejumlah kecil masyarakat
Indonesia, khususnya mereka yang memiliki kekuasaan dan mereka yang memiliki
patron politik dengan penguasa. Faktor ketiga yang dinilai Snape memberikan
kontribusi bagi praktek KKN di Indonesia adalah faktor yang terkait dengan penjelasan
budaya. Praktek-praktek KKN yang terjadi di masa Orde Baru memiliki akar pada
tradisi budaya masa lalu Indonesia, khususnya budaya yang berlaku di Jawa
(Snape, 1999; Schwartz, 1994). Terkait hal ini, sejumlah praktek KKN menurut Snape
mengakar pada kebiasaan Jawa kuno sehingga untuk kemudian dianggap sebagai
sesuatu halyang wajar. Kebiasan-kebiasan ini meliputi kebiasaan dalam
memberikan hadiah kepada penguasa; loyalitas kepada keluarga yang lebih kuat
dibandingkan kepada negara; serta konsep kekuasaan Jawa yang hierarkis, tetap
dan patrimoni.
Pemerintah
Indonesia sebenarnya tidak tinggal diam dalam mengatasi praktek-praktek
korupsi. Upaya pemerintah dilaksanakan melalui berbagai kebijakan berupa
peraturan perundang-undangan dari yang tertinggi yaitu Undang-Undang Dasar 1945
sampai dengan Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Selain itu, pemerintah juga membentuk komisi-komisi yang berhubungan langsung
dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi seperti Komisi
Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) dan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK). Upaya pencegahan praktek korupsi juga dilakukan di lingkungan
eksekutif atau penyelenggara negara, dimana masing-masing instansi memiliki Internal
Control Unit (unit pengawas dan pengendali dalam instansi) yang berupa inspektorat.
Fungsi inspektorat mengawasi dan memeriksa penyelenggaraan kegiatan pembangunan
di instansi masing-masing, terutama pengelolaan keuangan negara, agar kegiatan
pembangunan berjalan secara efektif, efisien dan ekonomis sesuai sasaran. Di
samping pengawasan internal, ada juga pengawasan dan pemeriksaan kegiatan
pembangunan yang dilakukan oleh instansi eksternal yaitu Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) dan Badan Pengawas Keuangan Pembangunan (BPKP). Selain lembaga
internal dan eksternal, lembaga swadaya masyarakat (LSM) juga ikut berperan
dalam melakukan pengawasan kegiatan pembangunan, terutama kasus-kasus korupsi
yang dilakukan oleh penyelenggara negara. Beberapa LSM yang aktif dan gencar
mengawasi dan melaporkan praktek korupsi yang dilakukan penyelenggara negara
antara lain adalah Indonesian Corruption Watch (ICW), Government
Watch (GOWA), dan Masyarakat Tranparansi Indonesia (MTI). Korupsi yang
terjadi dalam birokrasi tentunya mendapat perhatian dan penekanan tersendiri
dalam kajian ini. Karena pada kasus korupsi, birokrasi atau pemerintah memiliki
peranan ganda yaitu sebagai pelaku dan pemberantas korupsi itu sendiri.
Sementara dunia usaha dan masyarakat berperan sebagai pelaku dan korban. Kasus-kasus
korupsi yang menjadi sorotan banyak pihak baik dalam maupun luar negeri adalah
korupsi yang terjadi di tubuh birokrasi. Selain berakibat luas dan destruktif
terhadap pembangunan ekonomi serta masyarakat secara umum, korupsi dalam birokrasi
pada umumnya berskala luas dengan jumlah (nominal) yang besardan melibatkan
pejabat negara, elit politik maupun pegawai negeri. Sedangkan, kasus-kasus
korupsi pada sektor bisnis, pada umumnya berskala kecil dan hanya berdampak
pada perusahaannya sendiri. Di Indonesia, untuk kategori manipulasi uang
negara, sektor yang paling korup ialah pengadaan barang dan jasa mencakup
konstruksi, pekerjaan umum, perlengkapan militer, dan barang jasa pemerintah.
Untuk kasus suap dan pemerasan, korupsi terbesar terjadi di kepolisian, sektor
peradilan, pajak dan bea cukai, serta sektor perijinan. Korupsi juga terjadi di
kalangan politisi
(anggota
DPR dan partai politik), serta pada praktek kolusi dalam bisnis. Untuk kasus
kolusi bisnis, korupsi terbesar terjadi di tubuh militer, kepolisian, dan pegawai
pemerintah lewat koperasi dan yayasan. Dari segi aktornya, pelaku korupsi
terbagi menjadi aparat pemerintah, pelaku sektor bisnis, dan warga masyarakat.
Secara tradisional, pelaku korupsi biasanya hanya menyangkut pemerintah atau
aparat birokrasi dengan warga. Namun demikian, kecenderungan saat ini
menunjukkan adanya peningkatan kontribusi atas tingkatan korupsi dari pelaku di
sektor bisnis. Biasanya kasus korupsi selalu melibatkan dua pihak, yaitu aparat
(yang menerima suap) dan warga (yang memberi suap). Namun demikian dalam kacamata
hukum, penggelapan juga merupakan tindakan pidana korupsi, walaupun jenis
korupsi ini tidak melibatkan warga masyarakat secara langsung, karena
penggelepan hanya dilakukan oleh satu pihak saja, yaitu aparat. Penggelapan
adalah salah satu bentuk korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan yang menjadi
modus korupsi di negara paling korup, melibatkan pemegang kekuasaan hak
monopoli. Kasus penggelapan paling banyak ditemukan adalah dalam bentuk
memproteksi kepentingan bisnis mereka dengan menggunakan kekuatan politik. Di
beberapa negara lain modus yang terjadi seperti upaya menasionalisasi
perusahaan asing, hak properti dan hak monopoli, serta mendistribusikannya ke
kelompok/golongan yang dekat dengan kekuasaan. Namun demikian, pada
kenyataannya keberadaan instrumen hukum ini tidak lantas mempermudah penegakan
hukum. Persoalan mandeknya pemberantasan korupsi di Indonesia ternyata bersifat
lebih kompleks, yaitu tidak hanya menyangkut konten kebijakan dan penataan peraturan
perundangan yang mengatur mengenai pemberantasan korupsi itu sendiri, namun
juga faktor-faktor lain yang berpengaruh langsung pada rantai perumusan
kebijakan itu sendiri. Itikad politik yang kuat perlu menjadi landasan agar
kebijakan pemberantasan korupsi mendapat legitimasi yang cukup dan efektif,
namun sayangnya political will masih lemah. Hal ini diindikasikan ketika
penegakan hukum atas tindak pidana korupsi yang melibakan kelompok elit dan
nama besar akan sangat sulit dilakukan. Pemberantasan korupsi merupakan salah
satu agenda penting dari pemerintah dalam rangka penyelenggaraan negara yang
bersih dan bebas KKN. Bahkan pemberantasan korupsi juga merupakan agenda di
tingkat regional dan internasional. Ini dibuktkan dengan banyaknya lembaga-lembaga
internasional yang turut menegaskan komitmennya untuk bersama-samamemerangi
korupsi. Salah satu penghambat kesejahteraan negara berkembang pun disinyalir
akibat dari praktek korupsi yang eksesif, baik yang melibatkan aparat di sektor
publik, maupun yang melibatkan masyarakat yang lebih luas. Indikasi tetap
maraknya praktek korupsi di negara ini dapat terlihat dari tidak kunjung
membaiknya angka persepsi korupsi. Beberapa survei yang dilakukan oleh lembaga
independen internasional lainnya juga membuktikan fakta yang sama, walaupun
dengan bahasa, instrumen atau pendekatan yang berbeda. Situasi ini jelas
memprihatinkan banyak pihak. Upaya pemberantasan korupsi melibatkan semua
pihak, semua sektor dan seluruh komponen perumus kebijakan baik itu pemerintah
dan penyelenggara negara lainnya, tidak terkecuali anggota masyarakat secara
umum. Hal ini karena praktek korupsi bukan merupakan monopoli perilaku dari
pegawai atau pejabat pemerintah saja, tetapi merupakan justru perilaku kolektif
yang melibatkan hampir semua unsur dalam masyarakat. Sederhananya, supply tidak
akan terjadi kalau tidak ada demand. Praktek korupsi hanya mungkin
terjadi apabila sistem formal memberi celah/peluang ke arah sana, selain
didukung oleh perilaku stakehorlder dan shareholder yang komplementer.
Pendekatan carrot and stick adalah salah satu pendekatan yang memandang
penanganan
korupsi secara hitam putih. Walaupun sangat kaku dalam implementasi, namun
seringkali efektif untuk menciptakan iklim kondusif dalam penegakkan disiplin
aparatur. Dengan pendekatan kesejahteraan sebagaimana yang diterapkan di
Singapura, maka aparatur tidak diberi peluang untuk mencari pembenaran atas
tindak pidana korupsi yang dilakukannya. Pendapatan bersih (net take home
pay) yang layak diharapkan mampu memberikan garansi perilaku yang positif
para aparatur dan menghindari segala bentuk penyimpangan. Pendekatan stick diharapkan
akanmenimbulkan efek jera yang hebat pada para pelaku korupsi. Singapura dan China
telah menunjukkan praktek ini dengan tingkat keberhasilan yang diakui. Kebijakan
terkait lain yang menjadi alternatif di luar kebijakan sector adalah menyangkut
reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi ini tidak bisa hanya sebatas jargon
seperti yang selama ini banyak terjadi. Reformasi lebih banyak menjadi wacana
di forum-forum terbatas (elitis dan eksklusif) yang tidak berdampak langsung
kepada perubahan konkrit. Reformasi birokrasi harus menjadi pengungkit (leverage)
dalam strategi pemberantasan korupsi, karena merupakan fondasi penting
dalam penyelenggaran negara yang bersih dan bebas KKN. Persoalan dalam
pengejawantahan reformasi ini adalah dalam penerjemahannya ke dalam kebijakan.
Banyaknya sektor yang menjadi objek reformasi menyebabkan pendekatan yang
dilakukan tidak terintegrasi secara baik. Parsialitas menjadi karakter dalam
penyelenggaraan reformasi birokrasi ini. Perlu adanya upaya menyangkut optimasi
kementerian dan LPND, melalui kebiajakn kelmebagaan, sumber daya aparatur, dan
kapasitas kelembagaan yang tidak tumpang tindih. Terkait dengan reformasi
birokrasi dan prinsip carrot and stick di atas, maka struktur penggajian
memerlukan pembenahan serius. Struktur yang bersandar pada merit system boleh
jadi mampu memberikan jaminan kesejahteraan yang adil dan proporsional. Ketiga
alternatif kebijakan di atas memerlukan effort dan dana yang luar biasa
besar. Salah satu alternatif lain yang ditawarkan oleh Kwik Kian Gie adalah
dengan cara bertahap. Kesejahteraan yang layak tetap diberikan pada level elit
di instansi pemerintah, sehingga asumsinya tidak akan terjadi korupsi di level
atas. Sementara aparat pada level bawah, ”dibiarkan” untuk melakukan korupsi
pada level kecil, yang secara nominal tidak terlalu signifikan. Namun secara
bertahap, setelah kemampuan keuangan memungkinkan, maka kesejahteraan aparat di
tingkat bawah juga harus ditingkatkan. Untuk mengawal pendekatan ini, maka reward
and punishment harus tetap ditegakkan.
KESIMPULAN
Kasus
korupsi yang menjadi sorotan adalah korupsi yang terjadi di tubuh birokrasi.
Korupsi di tubuh birokrasi mempunyai dampak yang luas dan destruktif terhadap
pembangunan ekonomi serta masyarakat secara umum. Korupsi dalam birokrasi pada
umumnya berskala luas dengan jumlah (nominal) yang besar dan melibatkan pejabat
negara, elit politik maupun pegawai negeri. Sedangkan, kasus-kasus korupsi pada
sektor bisnis, pada umumnya berskala kecil dan hanya berdampak pada
perusahaannya sendiri. Untuk kategori manipulasi uang negara, sektor yang
paling korup ialah pengadaan barang dan jasa mencakup konstruksi, pekerjaan
umum, perlengkapan militer, dan barang jasa pemerintah. Untuk kasus suap dan pemerasan,
korupsi terbesar terjadi di kepolisian, sektor peradilan, pajak dan bea cukai,
serta sektor perijinan. Korupsi juga terjadi di kalangan politisi (anggota DPR
dan partai politik), serta pada praktek kolusi dalam bisnis. Untuk kasus kolusi
bisnis, korupsi terbesar terjadi di tubuh militer, kepolisian, dan pegawai
pemerintah lewat koperasi dan yayasan. Dari segi aktornya, pelaku korupsi
terbagi menjadi aparat pemerintah, pelaku sektor bisnis, dan warga masyarakat.
Secara tradisional, pelaku korupsi biasanya hanya menyangkut pemerintah atau
aparat birokrasi dengan warga. Namun demikian, kecenderungan saat ini
menunjukkan adanya peningkatan kontribusi atas tingkatan korupsi dari pelaku di
sektor bisnis. Strategi pemberantasan didahului oleh adanya itikad kolektif,
yaitu semacam willingness dari semua pihak untuk bersama-sama tidak
memberikan toleransi sedikitpun terhadap perilaku korupsi. Selama ini praktek
korupsi dianggap sesuatu yang wajar terjadi. Padahal perilaku korupsi harus
dicitrakan dan diperlakukan sebagai perilaku kriminal, sama halnya dengan
tindak kriminal lainnya yang memerlukan penanganan secara hukum. Dalam
mewujudkan sebuah strategi yang efektif, dibutuhkan pemenuhandan muncul dari
kesadaran sendiri; (2) Menyeluruh dan seimbang; (3) Sesuai dengan kebutuhan,
ada target, dan berkesinambungan; (4) Berdasarkan pada sumber daya dan
kapasitas yang tersedia; (5) Terukur; dan (6) Transparan dan bebas dari konflik
kepentingan. Berkenaan dengan political will serta komitmen yang harus
dibangun, maka perlu menegaskan kembali political will pemerintah,
diantaranya melalui: (1) Penyempurnaan UU Anti Korupsi yang lebih komprehensif;
(2) Kontrak politik yang dibuat pejabat publik; (3) Pembuatan aturan dan kode
etik PNS; (4) Pembuatan pakta integritas; dan (5) Penyederhanaan birokrasi. Penyempurnaan
UU Anti Korupsi ini selain untuk menjawab dinamika dan perkembangan kualitas
kasus korupsi, juga untuk menyesuaikan dengan instrumen hukum internasional.
Saat ini isu korupsi tidak lagi dibatasi sekatsekat negara, namun telah
berkembang menjadi isu regional bahkan internasional. Hal ini tidak lepas dari
praktek korupsi yang melibatkan perputaran dan pemindahan uang lintas negara.
SARAN
Strategi
pemberantasan korupsi harus bersifat menyeluruh dan seimbang. Selain itu, upaya
pencegahan (ex ante) harus lebih digalakkan, antara lain melalui: (1)
Menumbuhkan kesadaran masyarakat (public awareness) mengenai dampak destruktif
dari korupsi, khususnya bagi PNS; (2) Pendidikan anti korupsi; (3) Sosialisasi
tindak pidana korupsi melalui media cetak & elektronik; (4) Perbaikan
remunerasi PNS. Adapun upaya penindakan (ex post facto) harus memberikan
efek jera, baik secara hukum, maupu sosial. Efek jera seperti: (1) Hukuman yang
berat ditambah dengan denda yang jumlahnya signifikan; (2) Pengembalian hasil korupsi
kepada negara; dan (3) Tidak menutup kemungkinan, penyidikan dilakukan kepada
keluarga atau kerabat pelaku korupsi. Strategi pemberantasan korupsi harus
sesuai kebutuhan, target, dan berkesinambungan.
DAFTAR PUSTAKA
Badjuri, Achmad,2011. Peranan Komisi Pemeberantasan Korupsi (KPK) Sebagai Lembaga Anti
Korupsi di Indonesia (The Role of Indonesia Corruption Exterminate Comission in
Indonesia) : Jurnal Bisnis dan Ekonomi (JBE), Maret 2011, Hal. 84 – 96 Vol.
18, No. 1 ISSN: 1412-3126.
Kurniawan,
Teguh, 2009, Peranan Akuntabilitas Publik dan Partisipasi Masyarakat dalam
Pemberantasan Korupsi di Pemerintahan : Bisnis & Birokrasi,
Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Mei–Agustus 2009, hlm. 116-121 Volume
16, Nomor 2 ISSN 0854-3844.
Desta,
Yemane. 2006. Designing Anti-Corruption Strategies for Developing Countries: A
Country Study of Eritrea. Journal of Developing societies, Vol.
22 No. 4.
Feng,
Kenny. 2004. The Human Rights Implications of Corruption: An Alien Tort
Claims-Act Based Analysis, Wharton Research Scholars Journal,
WH-299-301 (April).
Gillespie,
Kate and Gwenn Okruhlik. 1991. The Political Dimensions of Corruption
Cleanups: A Framework for Analysis. Comparative Politics, Vol. 24,
No. 1.
Klitgaard,
Robert. 1998a. International Cooperation Against Corruption. Finance &
Development, Vol. 35, No. 1
Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). 2006. Memahami untuk Membasmi: Buku Saku untuk
Memahami Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: KPK.
_____.
2007. Laporan Tahunan 2007: Pemberdayaan Penegakan Hukum. Jakarta: KPK.
Shah,
Anwar, (Editor). 2007. Performance Accountability and Combating Corruption.
Washington DC: The World Bank.
Moeler, Robert and Herbert N. Witt,
1999. Internal
Auditing, 5th ed.
New York, John Willey & Son, Inc.
MenPAN, dalam Surat Nomor 37a/M.PAN/
2/2002 tanggal 8 Februari 2002.
Umar,
Haryono, 2012, Pengawasan Untuk Pemberantasan : Jurnal Akuntansi
& Auditing Volume
8/No. 2/Mei 2012: 95-189
Suwarno,
Yogi, dkk, Strategi Pemberantasan Korupsi
: STIA LAN Jakarta, Peneliti pada
Pusat Kajian Administrasi
Internasional LAN RI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar