Kamis, 18 Desember 2014

Jurnal Etika Bisnis : TUGAS 3

ETIKA IKLAN, VISUALISASI IKLAN DAN PERSEPSI KONSUMEN PADA KATEGORI INDUSTRI (PRODUK) KONSUMSI (MAKANAN DAN MINUMAN), PRODUK TOILETRIES, PRODUK ELEKTRONIK, OTOMOTIF RODA DUA DAN MINYAK PELUMAS DAN PRODUK FAST MOVING CONSUMER GOODS (FMCG)

Risa Sarah Septiarani
Fakultas Ekonomi Universitas Gunadarma

Abstrak
Etika persaingan dalam komunikasi pemasaran khususnya kampanye periklanan menjadi perhatian penting dalam upaya menyehatkan perekonomian bangsa. Pasar yang sehat dicerminkan dari terbukanya peluang kepada setiap pelaku untuk bersaing dan memperoleh perlakuan yang adil dalam suatu industri. Perundang-undangan dan kode etik komunikasi merupakan pedoman dalam bersaing secara sehat. Sebagian besar pelanggaran etika dalam praktik komunikasi periklanan memperlihatkan upaya merendahkan produk-produk pesaing baik secara visual maupun secara verbal dan berbagai bentuk pelanggaran etika bersaing secara sehat dan kode etik periklanan.

Kata kunci : Etika, Persepsi, Visualisasi Iklan


PENDAHULUAN
Persaingan merupakan cermin dari struktur pasar yang sehat. Semakin ketat persaingan menunjukkan jumlah pemain dalam suatu industri semakin besar, yang artinya industri bersangkutan dapat dimasuki beragam pemain. Kompetisi antar pemain memberikan dampak positif dan negatif terhadap perilaku persaingan. Jika sistem pengawasan dan penegakannya terhadap para pemain lemah, maka pada kondisi itulah para pemain berperilaku negatif dengan melakukan manufer manufer yang dapat melanggar perundangan persaingan yang sehat dan kode etik komunikasi pemasaran.
Etika dan tata krama harus dipenuhi dalam segala aktifitas periklanan maupun kegiatan komunikasi pemasaran lainnya, hal ini penting untuk mendapat respon positif berupa penerimaan atau dukungan terhadap produk, merek, dan perusahaan, khusunya dari konsumen. Usaha usaha pemasaran yang tidak memenuhi etika tatakrama akan mendapat reaksi penolakan dari khalayak yang selanjutnya sangat mungkin bisa menimbulkan persepsi negatif dari konsumen. ( Royanto,2011). Etika dipandang sebagai pandangan manusia dalam berprilaku menurut ukuran dan nilai yang baik. (Simorangkir,2008). Etika adalah teori tentang tingkah laku perbuatan manusia dipandang dari segi baik dan buruk, sejauh yang dapat ditentukan oleh akal.(Gajalba,2008).

Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang penelitian diatas, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
Bagaimanakah gambaran etika iklan, visualisasi iklan dan persepsi konsumen pada kategori industri (produk) konsumsi (makanan dan minuman), produk toiletries, produk elektronik, otomotif roda dua dan minyak pelumas dan produk fast moving consumer goods (FMCG) ?

LANDASAN TEORI
Pengertian iklan
Pengertian iklan menurut (Klepper, 1986), iklan berasal dari bahasa latin, ad-vere yang berarti mengoperasikan piliran dan gagasan kepada pihak lain.
Pengertian iklan menurut Klepper tiak berbeda jauh dengan pengertian komunikasi,pengertian tersebut masih bermakna umum dan tidak beda jauh dengan apa yang ditulis oleh (Wright,1978). Wright sebagaimana dikutip oleh Alo Liliweri, menuliskan bahwa iklan juga merupakan sebentuk penyampaian pesan sebagaimana kegiatan komunikasi lainnya. Secara lengkap, iklan merupakan suatu proses komunikasi yang mempunyai kekuatan yang sangat penting sebagai alat pemasaran yang membantu menjual barang, memberikan layanan, serta gagasan atau ide-ide melalui saluran tertentu dalam bentuk informasi yang pursuasif (Liliweri, 1992).

Jenis-Jenis Iklan
Iklan yang sering muncul di berbagai media dan umumnya dibuat oleh perusahaan periklanan adalah sebagai berikut (Mauli, 2007) :
a. Comercial Advertising,
Iklan jenis ini bertujuan untuk mendukung kampanye pemasaran suatu produk atau jasa, menurut (Lwin dan Aitchinson, 2005) iklan ini juga terbagi menjadi 2 (dua) bagian yaitu :
1. Iklan strategis, digunakan untuk membangun merek hal ini dilakukan dengan mengkonsumsi nilai merek dan manfaat produk. Perhatian utama dalam jangka panjang adalah memposisikan merek serta konsumen untuk menikmati hubungan dengan merek serta meyakinkan bahwa merek ini ada bagi para pengguna.
2. Iklan Taktis, memiliki tujuan untuk mendesak. Iklan ini dirancang untuk mendorong konsumen agar segera melakukan kontak dengan merek tertentu. Pada umumnya iklan ini memberikan penawaran khusus jangka pendek untuk memacu konsumen memberikan respon pada hari yang sama.
b. Corporate Advertising
Iklan yang bertujuan membangun citra suatu perusahaan yang pada akhirnya diharapkan juga membangun citra positif produk-produk atau jasa yang diproduksi oleh perusahaan tersebut. Iklan corporate akan efektif bila didukung oleh fakta yang kuat dan relevan dengan masyarakat, mempunyai nilai berita yang iasanya selalu dikaitkan dengan kegiatan yang berorientasi pada kepentingan masyarakat (Madjadikara, 2004)
c. Public Services Advertising
Iklan layanan masyarakat merupakan bagian dari kampanye sosial marketing yang bertujuan menjual gagasan atau ide untuk kepentingan atau pelayanan masyarakat. Biasanya pesan Iklan Layanan Masyarakat berupa ajakan, pernyataan, atau himbauan kepada masyarakat untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tibdakan demi kepentingan umum atau merubah perilaku yang “tidak baik” supaya menjadi lebih baik, misalnya masalah kebersihan lingkungan, mendorong penghargaan terhadap perbedaan pendapat, anti narkoba dan sebagainya (Madjadikara, 2004).  Berdasarkan pendanaannya iklan dibagi menjadi 2(dua) macam yakni:
a. Iklan Gratis
iklan gratis adalah iklan yang dalam pemasangannya tidak memerlukan biaya.
b. Iklan berbayar
Iklan berbayar adalah iklan yang pemasangannya memerlukan biaya. Contoh iklan berbayar sangat banyak. Iklan di TV, di Radio di koran, poster, reklame dan billboard memerlukan biaya dalam pemasangannya.

Tujuan Periklanan
(Suyanto,2005) mengemukakan tujuan periklana televisi dapat digolongkan menurut sasarannya adalah sebagai berikut:
a. Iklan informatif bertujuan untuk membentuk permintaan pertama. Caranya dengan memberitahu pasar tentang produk baru, menyusulkan kegunaan baru suatu produk, memberitahu pasar tentang perubahan harga, menjelaskan cara kerja suatu produk, menjelaskan pelayanan yang tersedia, mengoreksi kesan yang salah, mengurangi kecemasan pembeli, dan membangun citra perusahaan (biasanya dilakukan besar-besaran pada tahap awal peluncuran suatu jens produk).
b. Iklan pursuatif bertujuan unuk membentuk permintaan selektif suatu merek tertentu, yang dilakukan pada tahap kompetitif dengan membentuk preferensi merek, mendorong alih merek, mengubah persepsi pembeli tentang atribut produk, membujuk pembeli untuk membeli sekarang, dan membujuk pembeli menerika dan mencoba penggunaan produk.
c. Iklan pengingat bertujuan mengingatkan pembeian pada produk yang sudah mapan bahwa produk tersebut mungkin akan dibutuhkan kemudian, mengingatkan pembeli dimana mereka dapat membelinya, membuat pembeli tetap mengingat produk tersebut meskipun sedang tidak musim, dan mempertahankan kesadaran puncak.
d. Iklan perubahan nilai bertujuan untuk merubah nilai merek pada persepsi konsumen dengan melakukan inovasi, perbaikan kualitas, penguatan persepsi konsumen. Iklan yang efektid akan menyebabkan merek dipandang lebih elegan, lebih bergaya, dan mungkin super dalam persaingan.
e. Iklan bantuan aktivitas lain bertujuan membantu memfasilitasi aktivitas lain perusahaan dalam proses komunikasi pemasaran. Misal iklan membantu dalam pelepasan promosi penjualan promosi penjualan produk ( kupon), membantu wiraniaga (pengenalan produk), menyempurnakan hasil komunikasi pamasaran yang lain ( komunikasi dapat mengidentisifikasi paket produk di toko dan mengenal nilai produk lebih mudah setelah melihat iklan).

Etika Periklanan
Menurut Dewan Periklanan Indonesia (DPI), etika adalah sekumpulan norma atau azas atau sistem perilaku yang dibuat oleh sekelompok tertentu yang harus ditaatioleh individu atau kelompok individu yang menjadi anggotanya atas dasar moralitas baik-buruk atau benar-salah untuk hal atau aktivitas atau budaya tertentu.Etika adalah lini arahan atau aturan moral dari sebuah situasi dimana seseorang bertindak dan mempengaruhi tindakan orang atau kelompok lain. Definisi etika ini juga berlaku untuk kelompok media sebagai subjek etis yang
ada. Pilihan-pilihan etis juga harus berdasarkan kaidah norma atau nilai yang
menjadi prinsip utama tindakan etis.
Sedanglan etika periklanan adalah ukuran kewajaran nilai kejujuran didalam sebuah iklan. Menurut Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I), etika periklanan adalah seperangkat norma dan pandangan yang mesti diikuti oleh para politis periklanan dalam mengemas dan menyebar luaskan pesan iklan kepada khalayak ramai baik melalui media massa maupun media ruang. Menurut EPI (Etika Pariwara Indonesia), etika periklanan adalah ketentuan-ketentuan normatif yang menyangkut profesi dan usaha periklanan yang telah disepakati untuk dihormati, dita’ati, dan ditegakan oleh semua asosiasi dan lembaga pengembangnya.

Visualisasi Iklan Televisi
1. Daya tarik informasional/rasional (penjualan agresif). Daya tarik ini menekankan kepada ciri-ciri, manfaat, atau alasan menggunakan produk tertentu.
2. Daya tarik emosional (penjualan persuasif). Daya tarik ini menggunakan pesan emosional yang diharapkan dapat menyentuh hati dan menciptakan tanggapan berdasarkan perasaan dan sikap. Daya tarik emosional terdiri dari daya tarik humor, daya tarik seks, dan daya tarik rasa takut.
3. Daya tarik kombinasi. Daya tarik ini menggabungkan daya tarik informasional/rasional dan daya tarik emosional.

METODOLOGI PENELITIAN
Pengamatan dilakukan terhadap iklan iklan yang ditayangkan media televisi dan media cetak pada periode Oktober 2005-September 2006. Media televisi mencakup beberapa stasiun yaitu RCTI, Indosiar, SCTV, Trans TV, Anteve, TPI, dan Metro TV. Sedangkan iklan di media cetak mencakup Harian Kompas dan Majalah Berita Mingguan Tempo. Pengambilan sampel dilakukan secara random terhadap semua tayangan iklan, kemudian digunakan metode judgmental untuk menentukan iklan - iklan yang terindikasikan mengandung unsur pengabaian terhadap semangat bersaing secara sehat dan melanggar kode etik periklanan. Kategori industri (produk) yang diobservasi adalah produk-produk konsumsi (makanan dan minuman), produk toiletries, produk elektronik, otomotif roda dua dan minyak pelumas, dan beberapa produk fast moving consumers goods (FMCG) lainnya. Analisis terhadap visual iklan—sebagai instrumen komunikasi pemasaran—dilakukan metode penilaian pemaknaan atas tanda-tanda yang ada melalui sarana lihatan (visual sense) atau semiotika visual.

PEMBAHASAN
Beberapa peraturan perundangan berkaitan dengan etika bisnis secara keseluruhan telah dimiliki oleh Bangsa Indonesia, yaitu: Undang-undang tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen, Undang-undang tentang Hak Cipta, Undang-undang tentang Perusahaan, Undang-undang tentang Penyiaran, Kode Etik Wartawan Indonesia, dan Kode Etik Pariwara Indonesia. Konstitusi dan code of conduct ini (seharusnya) menjadi pedoman praktik berbisnis yang sehat di semua lapisan. Lebih khusus lagi, praktik-praktik kampanye komunikasi pemasaran harus mempertimbangkan segi-segi etika persaingan yang sehat di satu sisi, dan pada sisi lain periklanan harus mengdepankan semangat persaingan itu. Dengan demikian setiap pelaku usaha harus menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum. Selain itu, pelaku usaha juga harus turut mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui praktik persaingan usaha yang sehat sehingga dapat tumbuh denganbaik adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil. Karena etika periklanan Indonesia yang dibangun berazaskan kepada nilai-nilai luhur, seperti 1) jujur, benar, dan bertanggungjawab; 2) bersaing secara sehat, dan 3) melindungi dan menghargai publik, tidak merendahkan agama, budaya, negara, dan golongan, dan tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku.

Pemaknaan Semiotik Komunikasi Periklanan Berbagai Produk
Sampel iklan yang dikumpulkan kemudian dianalisis terhadap isi pesan iklan dengan metode penilaian pemaknaan atas tanda-tanda yang ada melalui sarana lihatan (visual sense) atau semiotika visual (Young, 2002). Etika persaingan dalam periklanan dicermati dari sejauhmana konten iklan memperhatikan aspek-aspek persaingan yang sehat. Dalam hal ini Kode Etik Periklanan Indonesia (EPI) telah merumuskan beberapa hal pokok yang berkaitan dengan perilaku bersaing. Pertama, perlakuan pembandingan dalam konten iklan. EPI menjelaskan bahwa perbandingan antar brand secara langsung dapat dilakukan, namun hanya terhadap aspek-aspek teknis produk, dan dengan kriteria yang tepat sama. Spesifiksi teknis antar brand dapat diadu antara satu dengan lainnya sesuai dengan karakteristik dan kelas produk bersangkutan. Selain perbandingan harga, dalam observasi ini kasus yang banyak dilakukan adalah persaingan tidak sehat yang dilakukan dengan merendahkan produk pesaing lain. Padahal etikanya setiap iklan tidak boleh menampilkan visual maupun verbal yang mengindikasikan merendahkan produk pesaing-pesaingnya, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Dalam Etika Pariwara Indonesia dijelaskan bahwa dalam bahasa iklan, tidak boleh menggunakan kata-kata seperti “paling”, “nomor satu”, “top”, atau kata-kata berawalan “ter”, atau bermakna sama, tanpa secara khas menjelaskan keunggulan tersebut yang harus dapat dibuktikan dengan pernyataan tertulis dari otoritas terkait atau sumber yang otentik. Beberapa iklan yang teliti ternyata masih ditemukan kata-kata atau awalan tersebut di atas, tanpa menyebutkan sumber otoritas terkait. Demikian juga untuk penggunan kata “satu-satunya” seringkali digunakan tanpa secara khas menyebutkan dalam hal apa produk tersebut menjadi yang satu-satunya, dan hal tersebut harus dapat dibuktikan dan dipertanggungjawabkan. Lebih jauh, ketentuan EPI menyebutkan bahwa Penggunaan kata “100%”, “murni”, “asli” untuk menyatakan sesuatu kandungan, kadar, bobot, tingkat mutu, dan sebagainya, harus dapat dibuktikan dengan pernyataan tertulis dari otoritas terkait atau sumber yang otentik, Penggunaan kata “halal” dalam iklan hanya dapat dilakukan oleh produk-produk yang sudah memperoleh sertifikat resmi dari Majelis Ulama Indonesia, atau lembaga yang berwenang. Pada prinsipnya kata halal tidak untuk diiklankan. Penggunaan kata “halal” dalam iklan pangan hanya dapat ditampilkan berupa label pangan yang mencantumkan logo halal untuk produk-produk yang sudah memperoleh sertifikat resmi dari MUI. Hal yang menarik adalah penggunaan kata-kata seperti “presiden”, “raja”, “ratu” dan sejenisnya yang dalam ketentuan EPI tidak boleh digunakan dalam kaitan atau konotasi yang negatif, namun kini kita bisa menyaksikan kata-kata itu digunakan dalam beberapa iklan untuk menarik massa. Misalnya kata ”raja” digunakan untuk ”Raja SMS”, demikian juga ”ratu” untuk ”kulkas” meskipun kedua kata itu dikonotasikan kepada kelompok band, namun ditayangkan sebagai fungsi iklan komersial. Salah satu ketentuan yang seringkali dilanggar oleh pengiklan adalah penggunaan tanda asteris atau tanda bintang (*).

Tabel 1
Beberapa TVC yang Mengindikasi Adanya Pelanggaran Etika Persaingan yang Sehat


Pada ketentuan EPI dinyatakan bahwa tanda asteris pada iklan di media cetak tidak boleh digunakan untuk menyembunyikan, menyesatkan, membingungkan atau membohongi khalayak tentang kualitas, kinerja, atau harga sebenarnya dari produk yang diiklankan, ataupun tentang ketidaktersediaan sesuatu produk. Namun demikian, tanda asteris pada iklan di media cetak hanya boleh digunakan untuk member penjelasan lebih rinci atau sumber dari sesuatu pernyataan yang bertanda tersebut. Dalam observasi yang dilakukan iklan-iklan yang menggunakan tanda asteris justru cenderung untuk menyalahi kedua ketentuan di atas dan membawanya ke ”daerah abu-abu” sehingga terkesan tidak membohongi konsumen. Selain itu, pemakaian kata “gratis” atau kata lain yang bermakna sama—sebagaimana ditentukan EPI—tidak boleh dicantumkan dalam iklan, bila ternyata konsumen harus membayar biaya lain. Biaya pengiriman yang dikenakan kepada konsumen juga harus dicantumkan dengan jelas. Kata ”Gratis” kemudian seringkali digunakan banyak iklan dan diberikan tambahan tanda asteris yang diberikan keterangan sebagai ”persediaan terbatas” tanpa menyebut jumlah stok bahkan ketika konsumen merespons iklan dengan cepat pun, seringkali mendapat jawaban stok habis.Etika Periklanan Indonesia juga membuat ketentuan tentang pencantuman harga, garansi, dan janji pengembalian uang (warranty) kepada audiens. Dalam hal pencantuman harga, ditegaskan bahwa jika harga sesuatu produk dicantumkan dalam iklan, maka ia harus ditampakkan dengan jelas, sehingga konsumen mengetahui apa yang akan diperolehnya dengan harga tersebut. Sementara untuk garansi, jika suatu iklan mencantumkan garansi atau jaminan atas mutu suatu produk, maka dasar-dasar jaminannya harus dapat dipertanggungjawabkan. Sedangkan warranty dalam EPI disebutkan bahwa jika suatu iklan menjanjikan pengembalian uang ganti rugi atas pembelian suatu produk yang ternyata mengecewakan konsumen, maka: (1) Syarat-syarat pengembalian uang tersebut harus dinyatakan secara jelas dan lengkap, antara lain jenis kerusakan atau kekurangan yang dijamin, dan jangka waktu berlakunya pengembalian uang; (2) pengiklan wajib mengembalikan uang konsumen sesuai janji yang telah diiklankannya. Beberapa penayangan iklan dalam creative strategy-nya memvisualkan peristiwa-peristiwa mutakhir sebagai penambah kekuatan iklan. Namun sayangnya ide creative tersebut justru memanfaatkan rasa takut masyarakat, seperti guncangan gempa bumi, tsunami, banjir, kebakaran, dan sebagainya. Iklan otomotif Panther, misalnya, kerapkali menyindir mobil kategori sedan dengan memanfaatkan bencana banjir sebagai trigger tagline-nya seperti ”banjir koq pakai sedan”. Selain itu terdapat iklan mie instan yang membuat guncangan gempa dalam visual iklannya di tengah-tengah suasana keprihatinan Bangsa Indonesia yang tengah dilanda gempa dahsyat di Yogya dan sekitarnya. Maka, dalam hal ini EPI menegaskan bahwa iklan tidak boleh menimbulkan atau mempermainkan rasa takut, maupun memanfaatkan kepercayaan orang terhadap tahayul, untuk mengeruk keuntungan. Demikian juga dengan tema kekerasan (violence), bahwa iklan tidak boleh—langsung maupun tidak langsung—menampilkan adegan kekerasan yang merangsang atau memberi kesan membenarkan terjadinya tindakan kekerasan—narrative without recognition (Fiske, 1991: 136). Masih berkaitan dengan tema kekerasan, suatu iklan tidak boleh menampilkan adegan yang mengabaikan segi-segi keselamatan, utamanya jika ia tidak berkaitan dengan produk yang diiklankan. Beberapa tayangan iklan, antara lain Rexona for men, justru memanfaatkan adegan ini sebagai visual yang dijual dalam iklannya meskipun dalam teksnya dicantumkan peringatan ”adegan ini dilakukan oleh profesional, jangan ditiru”. Beberapa waktu lalu, Aa Gym pernah direkam kegiatan ceramah keagamaannya dan diminta berkomentar mengenai kenaikan harga BBM. Tak dinyana, ternyata rekaman itu kemudian ”dibelokkan” oleh pihak yang berkepentingan sebagai iklan ”persetujuan” Aa Gym terhadap kebijakan itu dan pesannya ”ia diminta untuk membuat masyarakat tetap bersabar dan menaati kebijakan baru tersebut”. Iklan layanan masyarakat yang menuai protes tersebut akhirnya ditarik. Dalam hal ini, kode etiknya adalah iklan tidak boleh menampilkan atau melibatkan seseorang tanpa terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari yang bersangkutan, kecuali dalam penampilan yang bersifat massal, atau sekadar sebagai latar, sepanjang penampilan tersebut tidak merugikan yang bersangkutan. Salah satu trik kreatif yang banyak dilakukan para praktisi periklanan adalah dengan melakukan hiperbolisasi. Menurut EPI, hiperbolisasi boleh dilakukan sepanjang ia semata-mata dimaksudkan sebagai penarik perhatian atau humor yang secara sangat jelas berlebihan atau tidak masuk akal, sehingga tidak menimbulkan salah persepsi dari khalayak yang disasarnya. ”What’s so funny”, kata Michael Newman (2003: 260), karena humor adalah bagian dari interactivity yang mampu meningkatkan daya ingat (memorability). Maka, sebetulnya tertawa adalah cara terbaik untuk menanamkan ingatan kepada audiens. Namun demikian, jangan sampai maksudnya ingin menampilkan sesuatu yang lucu dan menghibur, tetapi justru yang terjadi iklan tersebut membuat audiens “tersedak” dan tidak bisa tertawa. Bisa saja menampilkan sesuatu yang ironis namun yang paling tepat adalah membuat orang menertawakan (kelakuan) dirinya sendiri. Hal yang sangat minim dalam iklan Indonesia adalah kemiskinannya dalam membangun suatu karakter, yang menurut Fulton (2005: 108) sesunguhnyamenjadi tenor dalam film/ iklan sebagai fungsi interpersonal teks melalui interaksi dan dialog dalam narrative dan kepaduan visual. Produk-produk yang membutuhkan pengalaman dalam proses pengadopsiannya (experience good) dalam menampilkan efek dari penggunaannya membutuhkan jangka waktu tertentu, karena itu dalam iklannya juga harus jelas mengungkapkan memadainya rentang waktu tersebut. Seorang endorser tidak boleh mengklaim seketika atas khasiat suatu yang dibintanginya dengan mengabaikan segi-segi ilmiah penujiannya. Selain itu, iklan tidak boleh menyalahgunakan istilah-istilah ilmiah dan statistik untuk menyesatkan khalayak, atau menciptakan kesan yang berlebihan. Trik inilah, misalnya, yang seringkali digunakan para pengiklan politik dalam upaya menarik masa dukungan.
Etika pariwara yang berkaitan dengan produk pangan (makanan), ditegaskan dalam EPI bahwa iklan tidak boleh menampilkan penyia-nyiaan, pemborosan, atau perlakuan yang tidak pantas lain terhadap makanan atau minuman. Kode etik ini sangat beralasan mengingat berbagai ide kreatif iklan memperlihatkan visualisasi semangat bersenang-senang (pleasure) dengan adegan permainan lempar-melempar makanan. Bahkan sebagian iklan itu dilakukan oleh anak-anak. Viasualisasi ini sarat dengan pesan edukasi yang buruk bagi anak-anak. Beberapa adegan sejenis, walaupun materinya bukan makanan dan minuman, juga cenderung tidak edukatif, misalnya adegan anak-anak bermain ”perang-perangan” dengan bantal yang disobek dan bulu-bulu ayam beterbangan. Visualisasi uang dalam suatu iklan menjadi suatu simbol pesan mengenai materialism, karena itu etikanya menurut EPI bahwa penampilan dan perlakuan terhadap uang dalam iklan haruslah sesuai dengan norma-norma kepatutan, dalam pengertian tidak mengesankan pemujaan ataupun pelecehan yang berlebihan. Selain itu, iklan tidak boleh menampilkan uang sedemikian rupa sehingga merangsang orang untuk memperolehnya dengan cara-cara yang tidak sah. Iklan pada media cetak tidak boleh menampilkan uang dalam format frontal dan skala 1:1, berwarna ataupun hitam-putih, dan karena itu penampilan uang pada media visual harus disertai dengan tanda “specimen” yang dapat terlihat jelas. Etika periklanan dan komunikasi pada umumnya tidak saja mencakup hal-hal berkaitan dengan manusia, tetapi juga dengan alam dan hewan. Dalam hal prnampilan hewan, Etika Pariwara Indonesia menyebutkan bahwa iklan tidak boleh menampilkan perlakuan yang tidak pantas terhadap hewan, utamanya dari spesies langka dan dilindungi, maupun hewan peliharaan. Iklan kesaksian konsumen (testimony) erupakan salah satu jenis iklan yang dinilai berpengaruh besar terhadap target bidik. Masalahnya adalah tidak semua pengiklan menjalankan tatacara dan ketentuan baku dalam jenis iklan ini. Sebagian pengiklan (dan agensinya) terkesan hanya memanfaatkan kepopuleran endorser untuk menopang image produknya melalui adegan wawancara dan pemberian pernyataan. EPI menjelaskan beberapa prosedur iklan testimony sebagai berikut: 1) Pemberian kesaksian hanya dapat dilakukan atas nama perorangan, bukan mewakili lembaga, kelompok, golongan, atau masyarakat luas; 2) Kesaksian konsumen harus merupakan kejadian yang benar-benar dialami, tanpa maksud untuk melebih-lebihkannya; 3) Untuk produk-produk yang hanya dapat memberi manfaat atau bukti kepada konsumennya dengan penggunaan yang teratur dan atau dalam jangka waktu tertentu; 4) Kesaksian konsumen harus dapat dibuktikan dengan pernyataan tertulis yang ditandatangani oleh konsumen tersebut; 5) Identitas dan alamat pemberi kesaksian jika diminta oleh lembaga penegak etika, harus dapat diberikan secara lengkap. Pemberi kesaksian pun harus dapat dihubungi pada hari dan jam kantor biasa. Iklan anjuran kepada publik (endorsement), merupakan jenis iklan yang berisi pernyataan, klaim atau janji yang diberikan suatu produk atau jasa. Inilah yang menjadi salah satu favorit cara berkampanye produk/jasa yang banyak dipilih terutama dengan memadukan konten dengan bintang iklan yang disewa di tegah-tengah maraknya pertumbuhan para pemain sinetron dan film dan pemain kesenian atau tokoh politik dan sejenisnya. Namun demikian iklan endorsement tidak boleh sembarangan, karena pernyataan, klaim, atau janji harus terkait dengan kompetensi yang dimiliki oleh penganjur. Ketentuan lainnya bahwa pemberian anjuran hanya dapat dilakukan oleh individu, tidak diperbolehkan mewakili lembaga, kelompok, golongan, atau masyarakat luas. Batasan inilah yang sering dilanggar para pengiklan dalam merekrut endorser. Selain itu iklan testimony seringkali dicampurbaurkan atau dikacaukan dengan iklan endorsement, mengingat rekrutmen bintang iklannya (endorser) yang simpang siur. Apalagi dalam konteks pers infotainment seringkali terjadi kesalah pahaman dalam menyebut para pemain film, sinetron, penyanyi sebagai seorang public figure (tokoh/figur publik) yang mestinya adalah pejabat publik, tokoh masyarakat atau representasi masyarakat kebanyakan yang dikenal secara luas. Jika dicermati dengan seksama, pada berbagai kasus penayangan iklan seringkali ditemui bahwa iklan-iklan yang tidak layak untuk konsumsi anak-anak, misalnya iklan Fiesta “warna warni” seringkali muncul ketika jam-jam tayang yang banyak ditonton anak-anak seperti siang-sore hari di beberapa stasiun televisi. Padahal hal ini termasuk pelanggaran fatal. Ketentuan jam tayang iklan yang tidak sesuai dengan khalayak anak-anak harus dicermati para media planners. Dalam konteks iklan anak-anak pun, creative iklan juga tidak boleh sembarangan. Ketentuan dalam kode etik adalah bahwa untuk khalayak anak-anak, iklan tidak boleh menampilkan hal-hal yang dapat mengganggu atau merusak jasmani dan rohani mereka, memanfaatkan kemudahpercayaan, kekurang pengalaman, atau kepolosan mereka. Bahkan kode etik iklan yang menyangkut pornografi dan pornoaksi pun sangat tegas ditentukan bahwa iklan tidak boleh mengeksploitasi erotisme atau seksualitas dengan cara apa pun, dan untuk tujuan atau alasan apa pun. Distribusi produk sebelum diiklankan juga harus menjadi perhatian serius setiap perusahaan pengiklan. Apalagi media yang dipilih adalah media nasional, maka seharusnya coverage area dari produk yang dikomunikasikan juga mencakup area nasional. Kalau tidak, makan iklan hanya boleh dimediakan jika telah ada kepastian tentang tersedianya produk yang diiklankan tersebut. Berkaitan dengan konteks ini berbagai iklan yang memberikan (menjanjikan) hadiah harus memiliki komitmen untuk menyiapkan ketersediaan hadiah. Tidak boleh dalam suatu iklan menjanjikan hadiah tetapi kemudian mengatakan “selama persediaan masih ada” atau kata-kata lain yang bermakna sama bahwa ketersediaan hadiah tidak mencukupi atau tidak diurus distribusinya dengan baik, atau bahkan (mungkin) hadiahnya tidak tersedia namun dimanfaatkan untuk menarik traffic pembelanjaan yang tinggi.

KESIMPULAN
Persaingan ketat terjadi antar brand terutama pada produk-produk konsumsi (consumer goods) seperti produk minuman, produk makanan, produk toiletris, dan beberapa produk sekunder lainnya seperti otomotif roda dua dan minyak peluas sejauh kelompok produk yang diobservasi. Style komunikasi periklanan pada berbagai kategori produk yang bersaing ketat memiliki kecenderungan untuk menghasilkan tayangan-tayangan iklan yang konten-nya cenderung melanggar etika persaingan dan kode etik periklanan. Sebagian besar pelanggaran etika dalam praktik komunikasi periklanan memperlihatkan upaya merendahkan produk-produk pesaing baik secara visual maupun secara verbal dan berbagai bentuk pelanggaran lain dari kode etik periklanan.

SARAN
Segala bentuk kreativitas media periklanan saat ini yang juga semakin didukung oleh perkembangan teknologi sebaiknya tetap memeperhatikan aspek etika, estetika serta norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat. Hal tersebut penting dilakukan karena kembali lagi aspek yang menilai paling awal dengan adanya iklan tersebut adalah masyarakat itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA
Akbar, Taufik, 2013, Analisis Pengaruh Etika Iklan dan Visualisasi Iklan Terhadap Persepsi Konsumen Atas Iklan-Iklan Deterjen di Televisi“Studi Pada Konsumen Produk-Produk Deterjen di Wilayah Bulusan, Semarang” : Skripsi Fakultas Ekonomika dan Bisnis  Universitas Diponegoro         Semarang.

Hidayat, Zinggara, 2014, Etika Persaingan dalam Komunikasi PemasaranJurnal Komunikologi Vol.9 No.1 Maret 2012.

Young, Charles,. “The Advertising Research Handbook”. Ideas in Flight Publisher. ##. 2002

Newman, Michael, “Creative Leaps: 10 Lessons in Effective Advertising Inspired at Saatchi & Saatchi.” John Wiley & Sons (Asia) Pte Ltd.2003

Fiske, John, “Television Culture”.Routledge Publisher, London and New York. 1991


Beckett, Robert. “Communication Ethics: Principles &Practice:, Journal of Communication Management, 2003; 8,1. p. 41-52. 2003


Starck, Kenneth; Dean Kruckeberg.“Ethical Obligations of PR in an Era of Globalization”, Journal of  Communication Management, 2003; 8, 1. p. 29-40. 2003

Tidak ada komentar:

Posting Komentar