ETIKA IKLAN, VISUALISASI IKLAN DAN PERSEPSI
KONSUMEN PADA KATEGORI INDUSTRI (PRODUK) KONSUMSI (MAKANAN DAN MINUMAN), PRODUK
TOILETRIES, PRODUK ELEKTRONIK, OTOMOTIF RODA DUA DAN MINYAK PELUMAS DAN PRODUK
FAST MOVING CONSUMER GOODS (FMCG)
Risa Sarah Septiarani
Fakultas Ekonomi Universitas
Gunadarma
Abstrak
Etika
persaingan dalam komunikasi pemasaran khususnya kampanye periklanan menjadi
perhatian penting dalam upaya menyehatkan perekonomian bangsa. Pasar yang sehat
dicerminkan dari terbukanya peluang kepada setiap pelaku untuk bersaing dan
memperoleh perlakuan yang adil dalam suatu industri. Perundang-undangan dan
kode etik komunikasi merupakan pedoman dalam bersaing secara sehat. Sebagian
besar pelanggaran etika dalam praktik komunikasi periklanan memperlihatkan
upaya merendahkan produk-produk pesaing baik secara visual maupun secara verbal
dan berbagai bentuk pelanggaran etika bersaing secara sehat dan kode etik
periklanan.
Kata kunci : Etika, Persepsi, Visualisasi Iklan
PENDAHULUAN
Persaingan
merupakan cermin dari struktur pasar yang sehat. Semakin ketat persaingan
menunjukkan jumlah pemain dalam suatu industri semakin besar, yang artinya
industri bersangkutan dapat dimasuki beragam pemain. Kompetisi antar pemain
memberikan dampak positif dan negatif terhadap perilaku persaingan. Jika sistem
pengawasan dan penegakannya terhadap para pemain lemah, maka pada kondisi
itulah para pemain berperilaku negatif dengan melakukan manufer manufer yang
dapat melanggar perundangan persaingan yang sehat dan kode etik komunikasi
pemasaran.
Etika
dan tata krama harus dipenuhi dalam segala aktifitas periklanan maupun kegiatan
komunikasi pemasaran lainnya, hal ini penting untuk mendapat respon positif
berupa penerimaan atau dukungan terhadap produk, merek, dan perusahaan,
khusunya dari konsumen. Usaha usaha pemasaran yang tidak memenuhi etika
tatakrama akan mendapat reaksi penolakan dari khalayak yang selanjutnya sangat
mungkin bisa menimbulkan persepsi negatif dari konsumen. ( Royanto,2011). Etika
dipandang sebagai pandangan manusia dalam berprilaku menurut ukuran dan nilai
yang baik. (Simorangkir,2008). Etika adalah teori tentang tingkah laku
perbuatan manusia dipandang dari segi baik dan buruk, sejauh yang dapat
ditentukan oleh akal.(Gajalba,2008).
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
uraian dalam latar belakang penelitian diatas, maka permasalahan dalam
penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
Bagaimanakah
gambaran etika iklan, visualisasi iklan dan persepsi konsumen pada kategori
industri (produk) konsumsi (makanan dan minuman), produk toiletries, produk
elektronik, otomotif roda dua dan minyak pelumas dan produk fast moving consumer goods (FMCG) ?
LANDASAN TEORI
Pengertian iklan
Pengertian
iklan menurut (Klepper, 1986), iklan berasal dari bahasa latin, ad-vere yang
berarti mengoperasikan piliran dan gagasan kepada pihak lain.
Pengertian
iklan menurut Klepper tiak berbeda jauh dengan pengertian komunikasi,pengertian
tersebut masih bermakna umum dan tidak beda jauh dengan apa yang ditulis oleh (Wright,1978).
Wright sebagaimana dikutip oleh Alo Liliweri, menuliskan bahwa iklan juga
merupakan sebentuk penyampaian pesan sebagaimana kegiatan komunikasi lainnya.
Secara lengkap, iklan merupakan suatu proses komunikasi yang mempunyai kekuatan
yang sangat penting sebagai alat pemasaran yang membantu menjual barang,
memberikan layanan, serta gagasan atau ide-ide melalui saluran tertentu dalam
bentuk informasi yang pursuasif (Liliweri, 1992).
Jenis-Jenis Iklan
Iklan
yang sering muncul di berbagai media dan umumnya dibuat oleh perusahaan periklanan
adalah sebagai berikut (Mauli, 2007) :
a.
Comercial Advertising,
Iklan
jenis ini bertujuan untuk mendukung kampanye pemasaran suatu produk atau jasa,
menurut (Lwin dan Aitchinson, 2005) iklan ini juga terbagi menjadi 2 (dua)
bagian yaitu :
1.
Iklan strategis, digunakan untuk membangun merek hal ini dilakukan dengan
mengkonsumsi nilai merek dan manfaat produk. Perhatian utama dalam jangka
panjang adalah memposisikan merek serta konsumen untuk menikmati hubungan
dengan merek serta meyakinkan bahwa merek ini ada bagi para pengguna.
2.
Iklan Taktis, memiliki tujuan untuk mendesak. Iklan ini dirancang untuk
mendorong konsumen agar segera melakukan kontak dengan merek tertentu. Pada
umumnya iklan ini memberikan penawaran khusus jangka pendek untuk memacu
konsumen memberikan respon pada hari yang sama.
b.
Corporate Advertising
Iklan
yang bertujuan membangun citra suatu perusahaan yang pada akhirnya diharapkan
juga membangun citra positif produk-produk atau jasa yang diproduksi oleh
perusahaan tersebut. Iklan corporate akan efektif bila didukung oleh fakta yang
kuat dan relevan dengan masyarakat, mempunyai nilai berita yang iasanya selalu
dikaitkan dengan kegiatan yang berorientasi pada kepentingan masyarakat (Madjadikara,
2004)
c.
Public Services Advertising
Iklan
layanan masyarakat merupakan bagian dari kampanye sosial marketing yang
bertujuan menjual gagasan atau ide untuk kepentingan atau pelayanan masyarakat.
Biasanya pesan Iklan Layanan Masyarakat berupa ajakan, pernyataan, atau
himbauan kepada masyarakat untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tibdakan
demi kepentingan umum atau merubah perilaku yang “tidak baik” supaya menjadi
lebih baik, misalnya masalah kebersihan lingkungan, mendorong penghargaan terhadap
perbedaan pendapat, anti narkoba dan sebagainya (Madjadikara, 2004). Berdasarkan pendanaannya iklan dibagi menjadi
2(dua) macam yakni:
a.
Iklan Gratis
iklan
gratis adalah iklan yang dalam pemasangannya tidak memerlukan biaya.
b.
Iklan berbayar
Iklan
berbayar adalah iklan yang pemasangannya memerlukan biaya. Contoh iklan
berbayar sangat banyak. Iklan di TV, di Radio di koran, poster, reklame dan
billboard memerlukan biaya dalam pemasangannya.
Tujuan Periklanan
(Suyanto,2005)
mengemukakan tujuan periklana televisi dapat digolongkan menurut sasarannya
adalah sebagai berikut:
a.
Iklan informatif bertujuan untuk membentuk permintaan pertama. Caranya dengan
memberitahu pasar tentang produk baru, menyusulkan kegunaan baru suatu produk,
memberitahu pasar tentang perubahan harga, menjelaskan cara kerja suatu produk,
menjelaskan pelayanan yang tersedia, mengoreksi kesan yang salah, mengurangi
kecemasan pembeli, dan membangun citra perusahaan (biasanya dilakukan
besar-besaran pada tahap awal peluncuran suatu jens produk).
b.
Iklan pursuatif bertujuan unuk membentuk permintaan selektif suatu merek
tertentu, yang dilakukan pada tahap kompetitif dengan membentuk preferensi
merek, mendorong alih merek, mengubah persepsi pembeli tentang atribut produk,
membujuk pembeli untuk membeli sekarang, dan membujuk pembeli menerika dan
mencoba penggunaan produk.
c.
Iklan pengingat bertujuan mengingatkan pembeian pada produk yang sudah mapan
bahwa produk tersebut mungkin akan dibutuhkan kemudian, mengingatkan pembeli
dimana mereka dapat membelinya, membuat pembeli tetap mengingat produk tersebut
meskipun sedang tidak musim, dan mempertahankan kesadaran puncak.
d.
Iklan perubahan nilai bertujuan untuk merubah nilai merek pada persepsi konsumen
dengan melakukan inovasi, perbaikan kualitas, penguatan persepsi konsumen.
Iklan yang efektid akan menyebabkan merek dipandang lebih elegan, lebih bergaya,
dan mungkin super dalam persaingan.
e.
Iklan bantuan aktivitas lain bertujuan membantu memfasilitasi aktivitas lain perusahaan
dalam proses komunikasi pemasaran. Misal iklan membantu dalam pelepasan promosi
penjualan promosi penjualan produk ( kupon), membantu wiraniaga (pengenalan
produk), menyempurnakan hasil komunikasi pamasaran yang lain ( komunikasi dapat
mengidentisifikasi paket produk di toko dan mengenal nilai produk lebih mudah
setelah melihat iklan).
Etika
Periklanan
Menurut
Dewan Periklanan Indonesia (DPI), etika adalah sekumpulan norma atau azas atau
sistem perilaku yang dibuat oleh sekelompok tertentu yang harus ditaatioleh individu
atau kelompok individu yang menjadi anggotanya atas dasar moralitas baik-buruk
atau benar-salah untuk hal atau aktivitas atau budaya tertentu.Etika adalah
lini arahan atau aturan moral dari sebuah situasi dimana seseorang bertindak
dan mempengaruhi tindakan orang atau kelompok lain. Definisi etika ini juga
berlaku untuk kelompok media sebagai subjek etis yang
ada.
Pilihan-pilihan etis juga harus berdasarkan kaidah norma atau nilai yang
menjadi
prinsip utama tindakan etis.
Sedanglan
etika periklanan adalah ukuran kewajaran nilai kejujuran didalam sebuah iklan.
Menurut Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I), etika periklanan
adalah seperangkat norma dan pandangan yang mesti diikuti oleh para politis
periklanan dalam mengemas dan menyebar luaskan pesan iklan kepada khalayak
ramai baik melalui media massa maupun media ruang. Menurut EPI (Etika Pariwara
Indonesia), etika periklanan adalah ketentuan-ketentuan normatif yang
menyangkut profesi dan usaha periklanan yang telah disepakati untuk dihormati,
dita’ati, dan ditegakan oleh semua asosiasi dan lembaga pengembangnya.
Visualisasi
Iklan Televisi
1.
Daya tarik informasional/rasional (penjualan agresif). Daya tarik ini menekankan
kepada ciri-ciri, manfaat, atau alasan menggunakan produk tertentu.
2.
Daya tarik emosional (penjualan persuasif). Daya tarik ini menggunakan pesan
emosional yang diharapkan dapat menyentuh hati dan menciptakan tanggapan
berdasarkan perasaan dan sikap. Daya tarik emosional terdiri dari daya tarik
humor, daya tarik seks, dan daya tarik rasa takut.
3.
Daya tarik kombinasi. Daya tarik ini menggabungkan daya tarik informasional/rasional
dan daya tarik emosional.
METODOLOGI PENELITIAN
Pengamatan
dilakukan terhadap iklan iklan yang ditayangkan media televisi dan media cetak
pada periode Oktober 2005-September 2006. Media televisi mencakup beberapa
stasiun yaitu RCTI, Indosiar, SCTV, Trans TV, Anteve, TPI, dan Metro TV.
Sedangkan iklan di media cetak mencakup Harian Kompas dan Majalah Berita
Mingguan Tempo. Pengambilan sampel dilakukan secara random terhadap semua
tayangan iklan, kemudian digunakan metode judgmental untuk menentukan iklan - iklan
yang terindikasikan mengandung unsur pengabaian terhadap semangat bersaing
secara sehat dan melanggar kode etik periklanan. Kategori industri (produk)
yang diobservasi adalah produk-produk konsumsi (makanan dan minuman), produk
toiletries, produk elektronik, otomotif roda dua dan minyak pelumas, dan
beberapa produk fast moving consumers goods (FMCG) lainnya. Analisis terhadap
visual iklan—sebagai instrumen komunikasi pemasaran—dilakukan metode penilaian
pemaknaan atas tanda-tanda yang ada melalui sarana lihatan (visual sense) atau
semiotika visual.
PEMBAHASAN
Beberapa
peraturan perundangan berkaitan dengan etika bisnis secara keseluruhan telah
dimiliki oleh Bangsa Indonesia, yaitu: Undang-undang tentang Larangan Praktik
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Undang-undang tentang Perlindungan
Konsumen, Undang-undang tentang Hak Cipta, Undang-undang tentang Perusahaan,
Undang-undang tentang Penyiaran, Kode Etik Wartawan Indonesia, dan Kode Etik
Pariwara Indonesia. Konstitusi dan code of conduct ini (seharusnya) menjadi
pedoman praktik berbisnis yang sehat di semua lapisan. Lebih khusus lagi, praktik-praktik
kampanye komunikasi pemasaran harus mempertimbangkan segi-segi etika persaingan
yang sehat di satu sisi, dan pada sisi lain periklanan harus mengdepankan
semangat persaingan itu. Dengan demikian setiap pelaku usaha harus menjalankan
kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan
keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum. Selain itu,
pelaku usaha juga harus turut mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui
praktik persaingan usaha yang sehat sehingga dapat tumbuh denganbaik adanya
kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha
menengah, dan pelaku usaha kecil. Karena etika periklanan Indonesia yang
dibangun berazaskan kepada nilai-nilai luhur, seperti 1) jujur, benar, dan bertanggungjawab;
2) bersaing secara sehat, dan 3) melindungi dan menghargai publik, tidak merendahkan
agama, budaya, negara, dan golongan, dan tidak bertentangan dengan hukum yang
berlaku.
Pemaknaan Semiotik Komunikasi
Periklanan Berbagai Produk
Sampel
iklan yang dikumpulkan kemudian dianalisis terhadap isi pesan iklan dengan
metode penilaian pemaknaan atas tanda-tanda yang ada melalui sarana lihatan
(visual sense) atau semiotika visual (Young, 2002). Etika persaingan dalam
periklanan dicermati dari sejauhmana konten iklan memperhatikan aspek-aspek persaingan
yang sehat. Dalam hal ini Kode Etik Periklanan Indonesia (EPI) telah merumuskan
beberapa hal pokok yang berkaitan dengan perilaku bersaing. Pertama, perlakuan
pembandingan dalam konten iklan. EPI menjelaskan bahwa perbandingan antar brand
secara langsung dapat dilakukan, namun hanya terhadap aspek-aspek teknis
produk, dan dengan kriteria yang tepat sama. Spesifiksi teknis antar brand dapat
diadu antara satu dengan lainnya sesuai dengan karakteristik dan kelas produk
bersangkutan. Selain perbandingan harga, dalam observasi ini kasus yang banyak
dilakukan adalah persaingan tidak sehat yang dilakukan dengan merendahkan
produk pesaing lain. Padahal etikanya setiap iklan tidak boleh menampilkan
visual maupun verbal yang mengindikasikan merendahkan produk
pesaing-pesaingnya, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Dalam
Etika Pariwara Indonesia dijelaskan bahwa dalam bahasa iklan, tidak boleh
menggunakan kata-kata seperti “paling”, “nomor satu”, “top”, atau kata-kata
berawalan “ter”, atau bermakna sama, tanpa secara khas menjelaskan keunggulan
tersebut yang harus dapat dibuktikan dengan pernyataan tertulis dari otoritas
terkait atau sumber yang otentik. Beberapa iklan yang teliti ternyata masih
ditemukan kata-kata atau awalan tersebut di atas, tanpa menyebutkan sumber
otoritas terkait. Demikian juga untuk penggunan kata “satu-satunya” seringkali
digunakan tanpa secara khas menyebutkan dalam hal apa produk tersebut menjadi
yang satu-satunya, dan hal tersebut harus dapat dibuktikan dan dipertanggungjawabkan.
Lebih jauh, ketentuan EPI menyebutkan bahwa Penggunaan kata “100%”, “murni”,
“asli” untuk menyatakan sesuatu kandungan, kadar, bobot, tingkat mutu, dan
sebagainya, harus dapat dibuktikan dengan pernyataan tertulis dari otoritas
terkait atau sumber yang otentik, Penggunaan kata “halal” dalam iklan hanya
dapat dilakukan oleh produk-produk yang sudah memperoleh sertifikat resmi dari
Majelis Ulama Indonesia, atau lembaga yang berwenang. Pada prinsipnya kata
halal tidak untuk diiklankan. Penggunaan kata “halal” dalam iklan pangan hanya
dapat ditampilkan berupa label pangan yang mencantumkan logo halal untuk
produk-produk yang sudah memperoleh sertifikat resmi dari MUI. Hal yang menarik
adalah penggunaan kata-kata seperti “presiden”, “raja”, “ratu” dan sejenisnya
yang dalam ketentuan EPI tidak boleh digunakan dalam kaitan atau konotasi yang
negatif, namun kini kita bisa menyaksikan kata-kata itu digunakan dalam
beberapa iklan untuk menarik massa. Misalnya kata ”raja” digunakan untuk ”Raja
SMS”, demikian juga ”ratu” untuk ”kulkas” meskipun kedua kata itu dikonotasikan
kepada kelompok band, namun ditayangkan sebagai fungsi iklan komersial. Salah
satu ketentuan yang seringkali dilanggar oleh pengiklan adalah penggunaan tanda
asteris atau tanda bintang (*).
Tabel 1
Pada
ketentuan EPI dinyatakan bahwa tanda asteris pada iklan di media cetak tidak
boleh digunakan untuk menyembunyikan, menyesatkan, membingungkan atau membohongi
khalayak tentang kualitas, kinerja, atau harga sebenarnya dari produk yang diiklankan,
ataupun tentang ketidaktersediaan sesuatu produk. Namun demikian, tanda asteris
pada iklan di media cetak hanya boleh digunakan untuk member penjelasan lebih rinci
atau sumber dari sesuatu pernyataan yang bertanda tersebut. Dalam observasi
yang dilakukan iklan-iklan yang menggunakan tanda asteris justru cenderung
untuk menyalahi kedua ketentuan di atas dan membawanya ke ”daerah abu-abu”
sehingga terkesan tidak membohongi konsumen. Selain itu, pemakaian kata
“gratis” atau kata lain yang bermakna sama—sebagaimana ditentukan EPI—tidak
boleh dicantumkan dalam iklan, bila ternyata konsumen harus membayar biaya
lain. Biaya pengiriman yang dikenakan kepada konsumen juga harus dicantumkan
dengan jelas. Kata ”Gratis” kemudian seringkali digunakan banyak iklan dan
diberikan tambahan tanda asteris yang diberikan keterangan sebagai ”persediaan
terbatas” tanpa menyebut jumlah stok bahkan ketika konsumen merespons iklan
dengan cepat pun, seringkali mendapat jawaban stok habis.Etika Periklanan
Indonesia juga membuat ketentuan tentang pencantuman harga, garansi, dan janji pengembalian
uang (warranty) kepada audiens. Dalam hal pencantuman harga, ditegaskan bahwa
jika harga sesuatu produk dicantumkan dalam iklan, maka ia harus ditampakkan
dengan jelas, sehingga konsumen mengetahui apa yang akan diperolehnya dengan
harga tersebut. Sementara untuk garansi, jika suatu iklan mencantumkan garansi
atau jaminan atas mutu suatu produk, maka dasar-dasar jaminannya harus dapat
dipertanggungjawabkan. Sedangkan warranty dalam EPI disebutkan bahwa jika suatu
iklan menjanjikan pengembalian uang ganti rugi atas pembelian suatu produk yang
ternyata mengecewakan konsumen, maka: (1) Syarat-syarat pengembalian uang
tersebut harus dinyatakan secara jelas dan lengkap, antara lain jenis kerusakan
atau kekurangan yang dijamin, dan jangka waktu berlakunya pengembalian uang;
(2) pengiklan wajib mengembalikan uang konsumen sesuai janji yang telah diiklankannya.
Beberapa penayangan iklan dalam creative strategy-nya memvisualkan
peristiwa-peristiwa mutakhir sebagai penambah kekuatan iklan. Namun sayangnya
ide creative tersebut justru memanfaatkan rasa takut masyarakat, seperti
guncangan gempa bumi, tsunami, banjir, kebakaran, dan sebagainya. Iklan
otomotif Panther, misalnya, kerapkali menyindir mobil kategori sedan dengan
memanfaatkan bencana banjir sebagai trigger tagline-nya seperti ”banjir koq
pakai sedan”. Selain itu terdapat iklan mie instan yang membuat guncangan gempa
dalam visual iklannya di tengah-tengah suasana keprihatinan Bangsa Indonesia
yang tengah dilanda gempa dahsyat di Yogya dan sekitarnya. Maka, dalam hal ini
EPI menegaskan bahwa iklan tidak boleh menimbulkan atau mempermainkan rasa
takut, maupun memanfaatkan kepercayaan orang terhadap tahayul, untuk mengeruk
keuntungan. Demikian juga dengan tema kekerasan (violence), bahwa iklan tidak
boleh—langsung maupun tidak langsung—menampilkan adegan kekerasan yang
merangsang atau memberi kesan membenarkan terjadinya tindakan
kekerasan—narrative without recognition (Fiske, 1991: 136). Masih berkaitan
dengan tema kekerasan, suatu iklan tidak boleh menampilkan adegan yang mengabaikan
segi-segi keselamatan, utamanya jika ia tidak berkaitan dengan produk yang diiklankan.
Beberapa tayangan iklan, antara lain Rexona for men, justru memanfaatkan adegan
ini sebagai visual yang dijual dalam iklannya meskipun dalam teksnya
dicantumkan peringatan ”adegan ini dilakukan oleh profesional, jangan ditiru”. Beberapa
waktu lalu, Aa Gym pernah direkam kegiatan ceramah keagamaannya dan diminta
berkomentar mengenai kenaikan harga BBM. Tak dinyana, ternyata rekaman itu
kemudian ”dibelokkan” oleh pihak yang berkepentingan sebagai iklan
”persetujuan” Aa Gym terhadap kebijakan itu dan pesannya ”ia diminta untuk
membuat masyarakat tetap bersabar dan menaati kebijakan baru tersebut”. Iklan
layanan masyarakat yang menuai protes tersebut akhirnya ditarik. Dalam hal ini,
kode etiknya adalah iklan tidak boleh menampilkan atau melibatkan seseorang
tanpa terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari yang bersangkutan, kecuali
dalam penampilan yang bersifat massal, atau sekadar sebagai latar, sepanjang penampilan
tersebut tidak merugikan yang bersangkutan. Salah satu trik kreatif yang banyak
dilakukan para praktisi periklanan adalah dengan melakukan hiperbolisasi.
Menurut EPI, hiperbolisasi boleh dilakukan sepanjang ia semata-mata dimaksudkan
sebagai penarik perhatian atau humor yang secara sangat jelas berlebihan atau tidak
masuk akal, sehingga tidak menimbulkan salah persepsi dari khalayak yang
disasarnya. ”What’s so funny”, kata Michael Newman (2003: 260), karena humor
adalah bagian dari interactivity yang mampu meningkatkan daya ingat
(memorability). Maka, sebetulnya tertawa adalah cara terbaik untuk menanamkan
ingatan kepada audiens. Namun demikian, jangan sampai maksudnya ingin
menampilkan sesuatu yang lucu dan menghibur, tetapi justru yang terjadi iklan
tersebut membuat audiens “tersedak” dan tidak bisa tertawa. Bisa saja menampilkan
sesuatu yang ironis namun yang paling tepat adalah membuat orang menertawakan
(kelakuan) dirinya sendiri. Hal yang sangat minim dalam iklan Indonesia adalah kemiskinannya
dalam membangun suatu karakter, yang menurut Fulton (2005: 108) sesunguhnyamenjadi
tenor dalam film/ iklan sebagai fungsi interpersonal teks melalui interaksi dan
dialog dalam narrative dan kepaduan visual. Produk-produk yang membutuhkan
pengalaman dalam proses pengadopsiannya (experience good) dalam menampilkan
efek dari penggunaannya membutuhkan jangka waktu tertentu, karena itu dalam
iklannya juga harus jelas mengungkapkan memadainya rentang waktu tersebut.
Seorang endorser tidak boleh mengklaim seketika atas khasiat suatu yang
dibintanginya dengan mengabaikan segi-segi ilmiah penujiannya. Selain itu,
iklan tidak boleh menyalahgunakan istilah-istilah ilmiah dan statistik untuk menyesatkan
khalayak, atau menciptakan kesan yang berlebihan. Trik inilah, misalnya, yang
seringkali digunakan para pengiklan politik dalam upaya menarik masa dukungan.
Etika
pariwara yang berkaitan dengan produk pangan (makanan), ditegaskan dalam EPI
bahwa iklan tidak boleh menampilkan penyia-nyiaan, pemborosan, atau perlakuan
yang tidak pantas lain terhadap makanan atau minuman. Kode etik ini sangat
beralasan mengingat berbagai ide kreatif iklan memperlihatkan visualisasi
semangat bersenang-senang (pleasure) dengan adegan permainan lempar-melempar
makanan. Bahkan sebagian iklan itu dilakukan oleh anak-anak. Viasualisasi ini sarat
dengan pesan edukasi yang buruk bagi anak-anak. Beberapa adegan sejenis,
walaupun materinya bukan makanan dan minuman, juga cenderung tidak edukatif,
misalnya adegan anak-anak bermain ”perang-perangan” dengan bantal yang disobek dan
bulu-bulu ayam beterbangan. Visualisasi uang dalam suatu iklan menjadi suatu
simbol pesan mengenai materialism, karena itu etikanya menurut EPI bahwa
penampilan dan perlakuan terhadap uang dalam iklan haruslah sesuai dengan norma-norma
kepatutan, dalam pengertian tidak mengesankan pemujaan ataupun pelecehan yang berlebihan.
Selain itu, iklan tidak boleh menampilkan uang sedemikian rupa sehingga merangsang
orang untuk memperolehnya dengan cara-cara yang tidak sah. Iklan pada media
cetak tidak boleh menampilkan uang dalam format frontal dan skala 1:1, berwarna
ataupun hitam-putih, dan karena itu penampilan uang pada media visual harus
disertai dengan tanda “specimen” yang dapat terlihat jelas. Etika periklanan
dan komunikasi pada umumnya tidak saja mencakup hal-hal berkaitan dengan
manusia, tetapi juga dengan alam dan hewan. Dalam hal prnampilan hewan, Etika
Pariwara Indonesia menyebutkan bahwa iklan tidak boleh menampilkan perlakuan
yang tidak pantas terhadap hewan, utamanya dari spesies langka dan dilindungi,
maupun hewan peliharaan. Iklan kesaksian konsumen (testimony) erupakan salah
satu jenis iklan yang dinilai berpengaruh besar terhadap target bidik.
Masalahnya adalah tidak semua pengiklan menjalankan tatacara dan ketentuan baku
dalam jenis iklan ini. Sebagian pengiklan (dan agensinya) terkesan hanya memanfaatkan
kepopuleran endorser untuk menopang image produknya melalui adegan wawancara
dan pemberian pernyataan. EPI menjelaskan beberapa prosedur iklan testimony
sebagai berikut: 1) Pemberian kesaksian hanya dapat dilakukan atas nama
perorangan, bukan mewakili lembaga, kelompok, golongan, atau masyarakat luas;
2) Kesaksian konsumen harus merupakan kejadian yang benar-benar dialami, tanpa
maksud untuk melebih-lebihkannya; 3) Untuk produk-produk yang hanya dapat memberi
manfaat atau bukti kepada konsumennya dengan penggunaan yang teratur dan atau
dalam jangka waktu tertentu; 4) Kesaksian konsumen harus dapat dibuktikan
dengan pernyataan tertulis yang ditandatangani oleh konsumen tersebut; 5)
Identitas dan alamat pemberi kesaksian jika diminta oleh lembaga penegak etika,
harus dapat diberikan secara lengkap. Pemberi kesaksian pun harus dapat
dihubungi pada hari dan jam kantor biasa. Iklan anjuran kepada publik
(endorsement), merupakan jenis iklan yang berisi pernyataan, klaim atau janji
yang diberikan suatu produk atau jasa. Inilah yang menjadi salah satu favorit
cara berkampanye produk/jasa yang banyak dipilih terutama dengan memadukan
konten dengan bintang iklan yang disewa di tegah-tengah maraknya pertumbuhan
para pemain sinetron dan film dan pemain kesenian atau tokoh politik dan
sejenisnya. Namun demikian iklan endorsement tidak boleh sembarangan, karena
pernyataan, klaim, atau janji harus terkait dengan kompetensi yang dimiliki
oleh penganjur. Ketentuan lainnya bahwa pemberian anjuran hanya dapat dilakukan
oleh individu, tidak diperbolehkan mewakili lembaga, kelompok, golongan, atau
masyarakat luas. Batasan inilah yang sering dilanggar para pengiklan dalam merekrut
endorser. Selain itu iklan testimony seringkali dicampurbaurkan atau dikacaukan
dengan iklan endorsement, mengingat rekrutmen bintang iklannya (endorser) yang
simpang siur. Apalagi dalam konteks pers infotainment seringkali terjadi
kesalah pahaman dalam menyebut para pemain film, sinetron, penyanyi sebagai
seorang public figure (tokoh/figur publik) yang mestinya adalah pejabat publik,
tokoh masyarakat atau representasi masyarakat kebanyakan yang dikenal secara
luas. Jika dicermati dengan seksama, pada berbagai kasus penayangan iklan
seringkali ditemui bahwa iklan-iklan yang tidak layak untuk konsumsi anak-anak,
misalnya iklan Fiesta “warna warni” seringkali muncul ketika jam-jam tayang
yang banyak ditonton anak-anak seperti siang-sore hari di beberapa stasiun televisi.
Padahal hal ini termasuk pelanggaran fatal. Ketentuan jam tayang iklan yang
tidak sesuai dengan khalayak anak-anak harus dicermati para media planners.
Dalam konteks iklan anak-anak pun, creative iklan juga tidak boleh sembarangan.
Ketentuan dalam kode etik adalah bahwa untuk khalayak anak-anak, iklan tidak
boleh menampilkan hal-hal yang dapat mengganggu atau merusak jasmani dan rohani
mereka, memanfaatkan kemudahpercayaan, kekurang pengalaman, atau kepolosan
mereka. Bahkan kode etik iklan yang menyangkut pornografi dan pornoaksi pun
sangat tegas ditentukan bahwa iklan tidak boleh mengeksploitasi erotisme atau
seksualitas dengan cara apa pun, dan untuk tujuan atau alasan apa pun. Distribusi
produk sebelum diiklankan juga harus menjadi perhatian serius setiap perusahaan
pengiklan. Apalagi media yang dipilih adalah media nasional, maka seharusnya
coverage area dari produk yang dikomunikasikan juga mencakup area nasional.
Kalau tidak, makan iklan hanya boleh dimediakan jika telah ada kepastian
tentang tersedianya produk yang diiklankan tersebut. Berkaitan dengan konteks
ini berbagai iklan yang memberikan (menjanjikan) hadiah harus memiliki komitmen
untuk menyiapkan ketersediaan hadiah. Tidak boleh dalam suatu iklan menjanjikan
hadiah tetapi kemudian mengatakan “selama persediaan masih ada” atau kata-kata
lain yang bermakna sama bahwa ketersediaan hadiah tidak mencukupi atau tidak
diurus distribusinya dengan baik, atau bahkan (mungkin) hadiahnya tidak
tersedia namun dimanfaatkan untuk menarik traffic pembelanjaan yang tinggi.
KESIMPULAN
Persaingan
ketat terjadi antar brand terutama pada produk-produk konsumsi (consumer goods)
seperti produk minuman, produk makanan, produk toiletris, dan beberapa produk
sekunder lainnya seperti otomotif roda dua dan minyak peluas sejauh kelompok
produk yang diobservasi. Style komunikasi periklanan pada berbagai kategori
produk yang bersaing ketat memiliki kecenderungan untuk menghasilkan
tayangan-tayangan iklan yang konten-nya cenderung melanggar etika persaingan
dan kode etik periklanan. Sebagian besar pelanggaran etika dalam praktik komunikasi
periklanan memperlihatkan upaya merendahkan produk-produk pesaing baik secara
visual maupun secara verbal dan berbagai bentuk pelanggaran lain dari kode etik
periklanan.
SARAN
Segala
bentuk kreativitas media periklanan saat ini yang juga semakin didukung oleh
perkembangan teknologi sebaiknya tetap memeperhatikan aspek etika, estetika
serta norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat. Hal tersebut penting
dilakukan karena kembali lagi aspek yang menilai paling awal dengan adanya
iklan tersebut adalah masyarakat itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Akbar, Taufik, 2013, Analisis
Pengaruh Etika Iklan dan
Visualisasi Iklan Terhadap Persepsi
Konsumen Atas Iklan-Iklan Deterjen di
Televisi“Studi Pada Konsumen
Produk-Produk Deterjen di
Wilayah Bulusan, Semarang” : Skripsi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro Semarang.
Hidayat, Zinggara, 2014, Etika
Persaingan dalam Komunikasi Pemasaran
: Jurnal
Komunikologi Vol.9 No.1 Maret
2012.
Young, Charles,. “The
Advertising Research
Handbook”. Ideas in Flight
Publisher. ##. 2002
Newman, Michael,
“Creative Leaps: 10 Lessons in
Effective Advertising Inspired at
Saatchi & Saatchi.” John Wiley & Sons (Asia) Pte Ltd.2003
Fiske, John, “Television
Culture”.Routledge
Publisher, London and New York. 1991
Starck, Kenneth;
Dean Kruckeberg.“Ethical Obligations
of PR in an Era of Globalization”, Journal
of Communication Management, 2003; 8, 1. p. 29-40. 2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar